AKTUALISASI NILAI-NILAI ASWAJA
By; Ali
Shodikin
Muqaddimah
Aswaja atau Ahl Al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai paham keagamaan, mempunyai pengalaman tersendiri dalam sejarah Islam. Ia sering dikonotasikan sebagai ajaran (madhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep ’aqidah, syari’ah dan tasawuf dengan corak moderat. Salah satu ciri intrinsik paham ini —sebagai identitas— ialah kesimbangan pada dalil naqliyah dan ‘aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.
Dalam makalah yang singkat ini penulis banyak mengutip tulisan Dr.(HC) KH. Sahal Madhud dalam bukunya “Nuansa Fiqih Sosial”. Untuk mengawali makalah ini ada sebuah pertanyaan, yaitu; Apakah masih dimungkinkan untuk re-interpretasi nilai-nilai Aswaja yang notabene sudah berumur hampir satu abad —persisnya 84 tahun—, terhitung sejak tahun berdirinya NU tahun 1926.
Aswaja atau Ahl Al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai paham keagamaan, mempunyai pengalaman tersendiri dalam sejarah Islam. Ia sering dikonotasikan sebagai ajaran (madhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep ’aqidah, syari’ah dan tasawuf dengan corak moderat. Salah satu ciri intrinsik paham ini —sebagai identitas— ialah kesimbangan pada dalil naqliyah dan ‘aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.
Dalam makalah yang singkat ini penulis banyak mengutip tulisan Dr.(HC) KH. Sahal Madhud dalam bukunya “Nuansa Fiqih Sosial”. Untuk mengawali makalah ini ada sebuah pertanyaan, yaitu; Apakah masih dimungkinkan untuk re-interpretasi nilai-nilai Aswaja yang notabene sudah berumur hampir satu abad —persisnya 84 tahun—, terhitung sejak tahun berdirinya NU tahun 1926.
Pembahasan
Manusia adalah khalifah Allah di atas bumi, yang sekaligus mempunyai fungsi ganda, pertama, ‘ibadatullah yang kedua, ‘imaratu al-ardl. Dua fungsi yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapata dipisahkan. Bahkan fungsi yang kedua sangat mempengaruhi kualitas fungsi yang pertama dalam rangka mencapai tujuan hidup yakni sa’adatud darain. Makna hidup manusia akan tergantung pada kemampuan melakukan fungsinya sesuai dengan perkembangan kehidupan yang selalu beruabah seiring dengan transformasi kultural yang menuntut pengendalian orientasi dan tata nilai yang Islami.
Dalam konteks ini, Aswaja harus mampu mendorong pengikutnya dan umat pada umumnya agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk saling memanusiakan. Aswaja juga harus menggugah kesadaran umat terhadap ketidakberdayaan, keterbelakangan serta kelemahan mereka merupakan akibat dari suatu keadaan dan peristiwa kemanusiaan yang dibuat atau dibentuk oleh manusia yang sudah barang tentu dapat diatasi oleh manusia pula.
Tentu saja, penumbuhan kesadaran tersebut masih dalam konteks melaksanakan ajaran Islam Aswaja, agar mereka tidak kehilangan nilai-nilai Islami. Justru malah potensi ajaran Islam Aswaja dikembangkan secara aplikatif ke dalam proses pengembangan masyarakat. Pada gilirannya pembangunan manusia seutuhnya akan dapat dicapai melalui ajaran Islam Aswaja yang kontekstual di tengah-tengah keragaman komunitas nasional.
Untuk melakukan pembangunan masyarakat sekarang maupun esok, pendekatan yang paling tepat adalah yang langsung mempunyai implikasi dengan kebutuhan dari aspek-aspek kehidupan. Karena dengan demikian masyarakat terutama di pedesaan akan bersikap tanggap secara positif.
Kondidi dinamis sebagai kesadaran yang muncul, merupakan kesadaran masyarakat dalam transisi yang perlu diarahkan pada pemecahan masalah, pada gilirannya mereka di samping menyadari tema-tema jamannya juga menumbuhkan kesadaran kritis. Kesadaran ini akan meningkatkan kreativitas, menambah ketajaman dalam menafsirkan masalah dan sekaligus menghindari distorsi dalam memahami maslah itu. Kesadaran kritis ini memungkinkan masyarakat memahami faktor-faktor yang melingkupi aktivitasnya dan kemudian mampu melibatkan diri atas hal-hal yang membentuk masa depannya.
Manusia adalah khalifah Allah di atas bumi, yang sekaligus mempunyai fungsi ganda, pertama, ‘ibadatullah yang kedua, ‘imaratu al-ardl. Dua fungsi yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapata dipisahkan. Bahkan fungsi yang kedua sangat mempengaruhi kualitas fungsi yang pertama dalam rangka mencapai tujuan hidup yakni sa’adatud darain. Makna hidup manusia akan tergantung pada kemampuan melakukan fungsinya sesuai dengan perkembangan kehidupan yang selalu beruabah seiring dengan transformasi kultural yang menuntut pengendalian orientasi dan tata nilai yang Islami.
Dalam konteks ini, Aswaja harus mampu mendorong pengikutnya dan umat pada umumnya agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk saling memanusiakan. Aswaja juga harus menggugah kesadaran umat terhadap ketidakberdayaan, keterbelakangan serta kelemahan mereka merupakan akibat dari suatu keadaan dan peristiwa kemanusiaan yang dibuat atau dibentuk oleh manusia yang sudah barang tentu dapat diatasi oleh manusia pula.
Tentu saja, penumbuhan kesadaran tersebut masih dalam konteks melaksanakan ajaran Islam Aswaja, agar mereka tidak kehilangan nilai-nilai Islami. Justru malah potensi ajaran Islam Aswaja dikembangkan secara aplikatif ke dalam proses pengembangan masyarakat. Pada gilirannya pembangunan manusia seutuhnya akan dapat dicapai melalui ajaran Islam Aswaja yang kontekstual di tengah-tengah keragaman komunitas nasional.
Untuk melakukan pembangunan masyarakat sekarang maupun esok, pendekatan yang paling tepat adalah yang langsung mempunyai implikasi dengan kebutuhan dari aspek-aspek kehidupan. Karena dengan demikian masyarakat terutama di pedesaan akan bersikap tanggap secara positif.
Kondidi dinamis sebagai kesadaran yang muncul, merupakan kesadaran masyarakat dalam transisi yang perlu diarahkan pada pemecahan masalah, pada gilirannya mereka di samping menyadari tema-tema jamannya juga menumbuhkan kesadaran kritis. Kesadaran ini akan meningkatkan kreativitas, menambah ketajaman dalam menafsirkan masalah dan sekaligus menghindari distorsi dalam memahami maslah itu. Kesadaran kritis ini memungkinkan masyarakat memahami faktor-faktor yang melingkupi aktivitasnya dan kemudian mampu melibatkan diri atas hal-hal yang membentuk masa depannya.
*****
Kebutuhan
akan rumusan konsep aktualisasi Islam Aswaja, menjadi amat penting adanya.
Konsep itu akan menyambung kesenjangan yang terjadi selama ini, antara aspirasi
keagamaan Islam dan kenyataan yang ada. Suatu kesenjangan yang sangat tidak
menguntungkan bagi kaum muslimin dalam proses pembangunan masyarakat, yang
cenderung maju atas dorongan inspirasi kebutuhan hidup dari dimensi biologis
semata.
Merumuskan konsep-konsep yang dimaksud, memang tidak semudah diucapkan. Identifikasi masalah-masalah sosial secara general dan spesifik masih sulit diupayakan, sehingga konsep aktualisasi secara utuh pun tidak mudah diformulasikan. Akan tetapi secara sektoral, aktualisasi itu dapat dikonseptualisasikan secara jelas dalam konteks pendekatan masalah yang dilembagakan secara sistematis, terencana dan terarah sesuai dengan strategi yang ingin dicapai.
Kemampuan melihat masalah, sekaligus kemampuan menggali ajaran Islam Aswaja yang langsung atau tidak langsung bisa diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan implementatif yang dilembagakan, menjadi penting. Masalah yang sering disinggung oleh berbagai pihak dan menarik perhatian adalah keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan yang ada pada garis lingkar-bali (daur). Rumusan Khitah 26 pasal ke-6 juga menyinggung keprihatinan NU atas manusia yang terjerat oleh tiga masalah itu.
Aktualisasi Islam Aswaja dalam hal ini menurut rumusan yang jelas, adalah sebagai konsep motivator untuk menumbuhsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat perubahan nilai yang terjadi.
Dari sisi lain, ada yang menarik dari konsep Aswaja mengenai upaya penanggulangan kemiskinan. Konsep ini sangat potensial, namun jarang disinggung, bahkan hampir-hampir dilupakan. Yaitu bahwa orang muslim yang mampu berkewajiban menafkahi kaum fakir miskin, bila tidak ada baitul mal al-muntadzin. Konsep ini mungkin perlu dilembagakan. Dan masih banyak lagi konsep-konsep ibadah sosial dalam Islam Aswaja yang mungkin dilembagakan sebagai aktualisasinya.
Ajaran Islam Aswaja bukan saja sebagai sumber nilai etis dan manusiawi yang bisa diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat, namun ia secara multi dimensional sarat juga dengan norma keselarasan dan keseimbangan, sebagaimana yang dituntut oleh pembangunan. Dari dimensi sosial misalnya, Islam Aswaja mempunyai kaitan yang kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena syariat Islam itu sendiri, justru mengatur hubungan antara manusia individu dengan Allah, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Hubungan yang kedua itu terumuskan dalam prinsip mu’amalah yang bila dijabarkan mampu membongkar kelemahan sekaligus memberi solusi bagi paham kapitalisme dan sosialisme. Konsep itu terumuskan dalam prinsip mu’asyarah yang tercermin dalam berbagai dimensi hubungan interaktif dalam struktur sosial yang kemudian dipertegas oleh rumusan Khitah 26 butir empat, tentang sikap kemasyarakatan NU sebagai aktualisasinya.
Tentang hubungan ketiga antara manusia dengan lingkungannya terumuskan dalam prinsip kebebasan mengkaji, mengelola dan memanfaatkan alam ini untuk kepentingan manusia dengan tata keseimbangan yang lazim, tanpa sikap ishraf (melampaui batas) dan tentu saja dengan lingkungan maslahah. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam itu tentu saja berorientasi pada prinsip mu’syarah maupun mu’amalah yang menyangkut berbagai bentuk kegiatan perekonomian yang berkembang. Ini berarti diperlukan konsep mu’amalah secara utuh yang mampu mengadaptasikan perkembangan perekonomian dewasa ini sebagai aktualisasi ajaran Islam Aswaja tersebut.
Merumuskan konsep-konsep yang dimaksud, memang tidak semudah diucapkan. Identifikasi masalah-masalah sosial secara general dan spesifik masih sulit diupayakan, sehingga konsep aktualisasi secara utuh pun tidak mudah diformulasikan. Akan tetapi secara sektoral, aktualisasi itu dapat dikonseptualisasikan secara jelas dalam konteks pendekatan masalah yang dilembagakan secara sistematis, terencana dan terarah sesuai dengan strategi yang ingin dicapai.
Kemampuan melihat masalah, sekaligus kemampuan menggali ajaran Islam Aswaja yang langsung atau tidak langsung bisa diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan implementatif yang dilembagakan, menjadi penting. Masalah yang sering disinggung oleh berbagai pihak dan menarik perhatian adalah keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan yang ada pada garis lingkar-bali (daur). Rumusan Khitah 26 pasal ke-6 juga menyinggung keprihatinan NU atas manusia yang terjerat oleh tiga masalah itu.
Aktualisasi Islam Aswaja dalam hal ini menurut rumusan yang jelas, adalah sebagai konsep motivator untuk menumbuhsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat perubahan nilai yang terjadi.
Dari sisi lain, ada yang menarik dari konsep Aswaja mengenai upaya penanggulangan kemiskinan. Konsep ini sangat potensial, namun jarang disinggung, bahkan hampir-hampir dilupakan. Yaitu bahwa orang muslim yang mampu berkewajiban menafkahi kaum fakir miskin, bila tidak ada baitul mal al-muntadzin. Konsep ini mungkin perlu dilembagakan. Dan masih banyak lagi konsep-konsep ibadah sosial dalam Islam Aswaja yang mungkin dilembagakan sebagai aktualisasinya.
Ajaran Islam Aswaja bukan saja sebagai sumber nilai etis dan manusiawi yang bisa diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat, namun ia secara multi dimensional sarat juga dengan norma keselarasan dan keseimbangan, sebagaimana yang dituntut oleh pembangunan. Dari dimensi sosial misalnya, Islam Aswaja mempunyai kaitan yang kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena syariat Islam itu sendiri, justru mengatur hubungan antara manusia individu dengan Allah, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Hubungan yang kedua itu terumuskan dalam prinsip mu’amalah yang bila dijabarkan mampu membongkar kelemahan sekaligus memberi solusi bagi paham kapitalisme dan sosialisme. Konsep itu terumuskan dalam prinsip mu’asyarah yang tercermin dalam berbagai dimensi hubungan interaktif dalam struktur sosial yang kemudian dipertegas oleh rumusan Khitah 26 butir empat, tentang sikap kemasyarakatan NU sebagai aktualisasinya.
Tentang hubungan ketiga antara manusia dengan lingkungannya terumuskan dalam prinsip kebebasan mengkaji, mengelola dan memanfaatkan alam ini untuk kepentingan manusia dengan tata keseimbangan yang lazim, tanpa sikap ishraf (melampaui batas) dan tentu saja dengan lingkungan maslahah. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam itu tentu saja berorientasi pada prinsip mu’syarah maupun mu’amalah yang menyangkut berbagai bentuk kegiatan perekonomian yang berkembang. Ini berarti diperlukan konsep mu’amalah secara utuh yang mampu mengadaptasikan perkembangan perekonomian dewasa ini sebagai aktualisasi ajaran Islam Aswaja tersebut.
Ihtitam
Dengan ulasan makalah yang singkat tersebut bisa dikonklusikan, bahwa ternyata aktualisasi ajaran Islam Aswaja pada dasarnya sangat multidimensional. Namun kalau diklasifikasikan ada tiga dimensi sosial sebagaimana syariat Islam itu sendiri, yaitu; hubungan antara manusia sebagai individu (vs) Allah; antara manusia (vs) manusia, dan manusia (vs) alam lingkungannya.
Selanjutnya hal yang cukup mendesak untuk aplikasikan adalah aktualisasi Islam Aswaja sebagaimana dirumuskan ketika NU Khittah 26. Dimana dalam rumusan tersebut disebutkan bahwa aktualisasi Islam Aswaja adalah sebagai motivator untuk menumbuhsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat pergeseran nilai yang begitu deras di masyarakat.
Dengan ulasan makalah yang singkat tersebut bisa dikonklusikan, bahwa ternyata aktualisasi ajaran Islam Aswaja pada dasarnya sangat multidimensional. Namun kalau diklasifikasikan ada tiga dimensi sosial sebagaimana syariat Islam itu sendiri, yaitu; hubungan antara manusia sebagai individu (vs) Allah; antara manusia (vs) manusia, dan manusia (vs) alam lingkungannya.
Selanjutnya hal yang cukup mendesak untuk aplikasikan adalah aktualisasi Islam Aswaja sebagaimana dirumuskan ketika NU Khittah 26. Dimana dalam rumusan tersebut disebutkan bahwa aktualisasi Islam Aswaja adalah sebagai motivator untuk menumbuhsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat pergeseran nilai yang begitu deras di masyarakat.
Junaid al-Baghdadi dan Aswaja NU
Para pendiri NU memilih Imam Junaid
al-Baghdadi sebagai panutan Nahdliyin bertasawuf karena konsep suluk ortodoks
yang ditawarkannya: Tasawuf dengan titik pada syariah. Dalam hal ini Imam
Junaid dianggap sebagai teoritis mazhab sufi. Dan, sejauh penelisikan saya,
para pendiri NU hanya menjadikan Imam Junaid sebagai satu-satunya sandaran
Aswaja NU dalam tasawuf, bukan Imam Ghazali. Apa alasannya?
***
Mas Dedy van Delft,
Terimakasih atas penjelasannya yang panjang lebar. Mencerahkan. Para pendiri NU memilih Imam Junaid al-Baghdadi sebagai panutan Nahdliyin bertasawuf karena konsep suluk ortodoks yang ditawarkannya: Tasawuf dengan titik pada syariah. Dalam hal ini Imam Junaid dianggap sebagai teoritis mazhab sufi.
Sejauh penelisikan saya, para pendiri NU hanya menjadikan Imam Junaid sebagai satu-satunya sandaran Aswaja NU dalam tasawuf, bersama-sama dengan empat imam mazhab dalam ber-fiqh, berserta Imam Asy'ari dan Imam Maturidi dalam aqidah. Selama ini saya belum pernah menemukan tasawuf Aswaja NU disandarkan pada Imam Ghazali, kecuali pada beberapa buku saja. (Tapi saya gagal mendapati rujukan dan sumber yang mereka pakai). Kenapa? Karena Imam Ghazali bukanlah seorang teoritis pertama, tetapi hanya sebagai seorang penegas posisi syariah dalam tasawuf.
Kendati begitu, Louis Massignon dalam bukunya 'Passion of al-Hallaj' mengkritik Imam Junaid sebagai seorang teoritis tasawuf belaka yang tidak memiliki pengalaman mistik. Apa alasannya? Karena ia menemukan Junaid di jarak yang berlawanan dari pengalaman dzouq al-Hallaj. Di sini, saya baca, Massignon, sebagai pakar al-Hallaj, terlampau terkagum-kagum pada tokoh yang dikajinya, bukan pada pada kecerdasan Imam Junaid yang bisa memadukan dzouq tasawuf dengan syariah. Tetapi, menariknya, ketika kemudian Massignon menulis dalam 'Essai sur les origines du lexique technique de la mystique musulmane', ia mencatat bahwa banyak doktrin bagus Junaid diambil oleh al-Hallaj. Sebuah apologi Massignon atas kritikan sebelumnya. Akhirnya, Massignon pun mengakui kehebatan Junaid sebagai seorang teoritis yang mampu membedakan secara tajam antara Tuhan dan manusia.
Di samping itu, pilihan pada Imam Junaid oleh para pendiri NU, saya lihat, berangkat dari perdebatan wacana keislaman masa itu. Di Semenanjung Arabia, Wahabi getol menghapuskan tasawuf dari khasanah keislaman. Karena itu NU membentengi Aswaja dengan Tasawuf. Sementara itu, pada saat yang sama, dunia Islam juga sedang mencari sebab-sebab kemunduran yang diderita dunia Islam. Abduh, sebagai pelopor gerakan ini, menuduh: Tasawuf lah biang kerok kemunduran dunia Islam, terutama ajaran zuhudnya. Lalu, kesimpulan saya, para pendiri NU menetapkan Imam Junaid. Kenapa? Karena Imam Junaid memiliki teori zuhud paling manusiawi. Imam Junaid menegaskan: "Zuhud bukan dengan meninggalkan dunia, tetapi dengan menempatkannya hanya di tangan, bukan di hati." (lihat `Risalah al-Qusyairiyah', Imam Qusyairi). Imam Junaid sendiri, selain dikenal sebagai seorang guru tasawuf, juga dikenal sebagai seorang pedagang. Setiap pagi Imam Junaid akan datang ke pasar, membuka kedai. Setelah itu sisa waktunya dilanjutkan untuk mengajar santri-santrinya, dan untuk beribadah.
Pilihan pada Imam Junaid, saya duga, juga karena NU sendiri awalnya adalah Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan para Pedagang) sebelum menjadi Nahdlatul Ulama. Kira-kira semacam dasar untuk pertahanan dari serangan kalangan Modernis. Dengan dasar teori zuhud Junaid ini, sebenarnya, kalangan Nahdliyin lah yang lebih siap menghadapi pasar bebas dan zaman kapitalisme global. Jika di zaman seperti sekarang ini Ahmad Baso masih mendongeng ideologi utopian sosialis, maka berarti sama saja dengan mengingkari sejarah NU dan dasar Aswaja Nahdliyin. Sebuah kemunduran dalam mendongeng. Ahmad Baso menulis: Indonesia sebagai negara penghasil minyak, kini terperosok menjadi negara pengimpor. Impornya dari Singapura lagi - sejak kapan Singapura menjadi negara minyak? Pertanyaan yang cerdas. Namun, jawabannya bukan dengan "ber-utopian" seperti Baso, bermimpi untuk tidak menjadi bangsa kuli tapi tanpa mempersiapkan SDM dan mengasah sifat inovatif dalam zaman persaingan pasar. Lagi pula, di zaman seperti sekarang ini, kok, Baso masih mengelu-elukan Pramudya Ananta Tur. Pertanyaan saya: Negara sosialis mana yang telah berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya? Kagak ada. `Nehi hai', seperti kata orang India.
***
Mas Dedy van Delft,
Terimakasih atas penjelasannya yang panjang lebar. Mencerahkan. Para pendiri NU memilih Imam Junaid al-Baghdadi sebagai panutan Nahdliyin bertasawuf karena konsep suluk ortodoks yang ditawarkannya: Tasawuf dengan titik pada syariah. Dalam hal ini Imam Junaid dianggap sebagai teoritis mazhab sufi.
Sejauh penelisikan saya, para pendiri NU hanya menjadikan Imam Junaid sebagai satu-satunya sandaran Aswaja NU dalam tasawuf, bersama-sama dengan empat imam mazhab dalam ber-fiqh, berserta Imam Asy'ari dan Imam Maturidi dalam aqidah. Selama ini saya belum pernah menemukan tasawuf Aswaja NU disandarkan pada Imam Ghazali, kecuali pada beberapa buku saja. (Tapi saya gagal mendapati rujukan dan sumber yang mereka pakai). Kenapa? Karena Imam Ghazali bukanlah seorang teoritis pertama, tetapi hanya sebagai seorang penegas posisi syariah dalam tasawuf.
Kendati begitu, Louis Massignon dalam bukunya 'Passion of al-Hallaj' mengkritik Imam Junaid sebagai seorang teoritis tasawuf belaka yang tidak memiliki pengalaman mistik. Apa alasannya? Karena ia menemukan Junaid di jarak yang berlawanan dari pengalaman dzouq al-Hallaj. Di sini, saya baca, Massignon, sebagai pakar al-Hallaj, terlampau terkagum-kagum pada tokoh yang dikajinya, bukan pada pada kecerdasan Imam Junaid yang bisa memadukan dzouq tasawuf dengan syariah. Tetapi, menariknya, ketika kemudian Massignon menulis dalam 'Essai sur les origines du lexique technique de la mystique musulmane', ia mencatat bahwa banyak doktrin bagus Junaid diambil oleh al-Hallaj. Sebuah apologi Massignon atas kritikan sebelumnya. Akhirnya, Massignon pun mengakui kehebatan Junaid sebagai seorang teoritis yang mampu membedakan secara tajam antara Tuhan dan manusia.
Di samping itu, pilihan pada Imam Junaid oleh para pendiri NU, saya lihat, berangkat dari perdebatan wacana keislaman masa itu. Di Semenanjung Arabia, Wahabi getol menghapuskan tasawuf dari khasanah keislaman. Karena itu NU membentengi Aswaja dengan Tasawuf. Sementara itu, pada saat yang sama, dunia Islam juga sedang mencari sebab-sebab kemunduran yang diderita dunia Islam. Abduh, sebagai pelopor gerakan ini, menuduh: Tasawuf lah biang kerok kemunduran dunia Islam, terutama ajaran zuhudnya. Lalu, kesimpulan saya, para pendiri NU menetapkan Imam Junaid. Kenapa? Karena Imam Junaid memiliki teori zuhud paling manusiawi. Imam Junaid menegaskan: "Zuhud bukan dengan meninggalkan dunia, tetapi dengan menempatkannya hanya di tangan, bukan di hati." (lihat `Risalah al-Qusyairiyah', Imam Qusyairi). Imam Junaid sendiri, selain dikenal sebagai seorang guru tasawuf, juga dikenal sebagai seorang pedagang. Setiap pagi Imam Junaid akan datang ke pasar, membuka kedai. Setelah itu sisa waktunya dilanjutkan untuk mengajar santri-santrinya, dan untuk beribadah.
Pilihan pada Imam Junaid, saya duga, juga karena NU sendiri awalnya adalah Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan para Pedagang) sebelum menjadi Nahdlatul Ulama. Kira-kira semacam dasar untuk pertahanan dari serangan kalangan Modernis. Dengan dasar teori zuhud Junaid ini, sebenarnya, kalangan Nahdliyin lah yang lebih siap menghadapi pasar bebas dan zaman kapitalisme global. Jika di zaman seperti sekarang ini Ahmad Baso masih mendongeng ideologi utopian sosialis, maka berarti sama saja dengan mengingkari sejarah NU dan dasar Aswaja Nahdliyin. Sebuah kemunduran dalam mendongeng. Ahmad Baso menulis: Indonesia sebagai negara penghasil minyak, kini terperosok menjadi negara pengimpor. Impornya dari Singapura lagi - sejak kapan Singapura menjadi negara minyak? Pertanyaan yang cerdas. Namun, jawabannya bukan dengan "ber-utopian" seperti Baso, bermimpi untuk tidak menjadi bangsa kuli tapi tanpa mempersiapkan SDM dan mengasah sifat inovatif dalam zaman persaingan pasar. Lagi pula, di zaman seperti sekarang ini, kok, Baso masih mengelu-elukan Pramudya Ananta Tur. Pertanyaan saya: Negara sosialis mana yang telah berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya? Kagak ada. `Nehi hai', seperti kata orang India.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar