Sabtu, 24 Agustus 2013

ASWAJA



ASWAJA

     ASWAJA  adalah kepanjangan kata dari “ Ahlussunnah waljamaah”. Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan  waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.
    Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).
    Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah  terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah,  al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim (  ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik,  al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).
    Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori Asy’ariyah  lebih mendahulukan  naql ( teks qu’an hadits)  daripada aql ( penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij,  dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi cirri khas aliran ini, baik dibidang  fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut  akidah sunni  (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni,  yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga   Tasawuf Sunni,  yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat.
Memahami Aswaja ala NU

Judul: Aswaja An-Nahdliyah, Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama
Penulis: Masyhudi Muchtar
Pengantar: Dr KH Ali Maschan Moesa, M.Si
Penerbit: Khalista Surabaya
Cetakan: I, Maret 2007
Tebal: vii+56 hal

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan sebagai jam'iyah diniyah al-ijtima'iyyah (organisasi keagamaan dan kemasyarakatan). Jamiyah ini dibentuk untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya, yang di dalamnya memiliki konsep dan ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja).
Seperti telah kita ketahui dan ditelusuri secara historis, Aswaja versi NU, pertama kali didirikan oleh kelompok “Taswirul al-Afkar" (potret pemikiran) yang salah satu tokohnya KH Wahab Hasbullah. Dalam "Qonun Asasi" NU telah dijelaskan bahwa, KH Hasyim Asy'ari tidak menjelaskan secara eksplisit definisi Aswaja sebagaimana yang dipahami oleh nahdliyin (sebutan untuk warga NU) saat ini.
Menurut KH Bisri Musthofa, definisi Aswaja, yaitu, paham yang menganut pola madzhab fikih yang empat, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki. Selain itu, Aswaja juga disebut paham yang mengikuti Al-Asy'ari dan Al-Maturidi dalam bidang akidah. Dalam bidang tasawuf mengikuti Al-Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali. Sementara, menurut KH Dawam Anwar, memahami Aswaja sebagai Islam itu sendiri, sehingga kalau ada yang mengatakan bahwa Aswaja itu tidak akomodatif, berarti sama dengan menuduh Islam tidak akomodatif (tidak sesuai dengan perkembangan zaman).
Dalam beberapa tahun belakangan ini, Aswaja dicoba diteliti dan ditinjau ulang oleh beberapa ulama seperti KH Said Aqil Siradj yang menginginkan definisi Aswaja sedikit didekontruksi pada aspek-aspek tertentu. Dengan tujuan agar Aswaja yang eksklusif dapat menjadi inklusif.
Namun yang menjadi pertanyaan apakah warga nahdliyin mampu memahami secara mendalam apa itu Aswaja? Dan bagaimana cara mengaplikasikannya dalam tataran akademis-keilmuan? Dan apakah mempunyai implikasi yang cukup signifikan pada cara berpikir ulama dan intelektual warga NU?
Dalam buku kecil, praktis, dan sederhana ini, pertanyaan-pertanyaan di atas akan dijawab. Mulai dari masalah-masalah bagaimana warga NU dalam melakukan amal ibadah ubudiyah (secara vertikal kepada Allah) dan ibadah muamalah (secara horisontal dalam hubungannya antarsesama warga nahdliyin). Semuanya disajikan dengan bahasa yang komunikatif, sistematis, dan mudah dipahami khususnya masyarakat awam.
Buku "Aswaja An-Nahdliyah" ini, sengaja dijelaskan dalam bab-perbab. Bab pertama Mukaddimah. Bab kedua, mengulas sumber ajaran An-Nahdliyah yang di dalamnya meliputi madzhab qauli, madzhab manhaji, dan pengembangan asas ijtihad madzhabi. Bab ketiga, menerangkan akidah Aswaja An-Nahdliyah yang di dalamnya meliputi konsep Akidah Asy'ariyah, konsep Akidah Maturidiyah. Bab keempat, mengulas Syariat Aswaja An-Nahdliyah yang meliputi, kenapa harus Empat Mazdhab. Bab kelima, mengulas masalah Tasawuf Aswaja An-Nadliyah. Bab keenam, menerangkan tradisi dan budaya yang di dalamnya meliputi landasan dasar tradisi, dan sikap terhadap tradisi.
Sedangkan bab ketujuh, kemasyarakatan yang di dalamnya meliputi Mabadi' Khaira Ummah dan Maslahatul Ummah. Mabadi' Khairah Ummah ini, juga meliputi Al-Shidqu, Al-Amanah wa al-Wafa bi al-Ahdi, Al-Adalah, Al-Ta'awun dan Al-Istiqamah. Maslahatul Ummah, meliputi penguatan ekonomi, pendidikan dan pelayanan sosial. Bab kedelapan, menerangkan kebangsaan dan bab terakhir penutup (khatimah).
Adapun salah satu konsep dari pemahaman Aswaja di sini, yaitu tawasuth, tasamuh, tawazun dan amar ma'ruf nahi munkar. Yang dimaksud tawasuth (moderat) ini, sebuah sikap keberagamaan yang tidak terjebak terhadap hal-hal yang sifatnya ekstrim. Tasamuh, sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Tawazun (seimbang), sebuah keseimbangan sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang, dan kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional. Amar ma'ruf nahi munkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (hal. 51-52).
Dari empat konsep Aswaja di atas, ada pokok yang paling ditekankan bagaimana konsep Aswaja bisa diaplikasikan dengan baik oleh warga NU. Aswaja sebagai paham keagamaan yang di dalamnya mempunyai konsep moderat (tawasut), setidaknya harus memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Karena budaya, sebagai kreasi manusia yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bisa terjamin. Budaya memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personal maupun sosial.
Dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah fikih "al muhafazhah ala al qadim al-shalih wal al-akhzu bil jadidi al-ashlah", melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi budaya. Jadi tidak semuanya budaya itu jelek, selama budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan mengandung kebaikan maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan dan layak untuk diikutinya. Ini sesuai dengan sebauh kaidah fikih, "al-adah muhakkamah" bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum.
Buku ini penting dan menarik untuk dimiliki, dibaca, oleh warga NU supaya paham dan mengerti secara mendalam apa itu Aswaja. Aswaja tidak hanya dipahami sekilas saja, tapi bagaimana warga nahdliyin mampu mengaplikasinnya dengan baik dan sempurna.

1.      Pada waktu zaman pemerintahan kholifah abu ja’far al Mansur dia mendirikan sebuah aliran yaitu aliran muktazilah (aliran berdasarkan ajaran islam pada alquran dan akal).dan kemudian pada zaman abu hasan al-asyhari dia mendirikan sebuah aliran yang namanya al asy’ariyah dan al matudriyah ( yang lebih menekannkan akal) dari pernyatanan tersebut apa perbedaan nya?

Aktualisasi nilai-nilai aswaja



AKTUALISASI NILAI-NILAI ASWAJA
By; Ali Shodikin
Muqaddimah
Aswaja atau Ahl Al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai paham keagamaan, mempunyai pengalaman tersendiri dalam sejarah Islam. Ia sering dikonotasikan sebagai ajaran (madhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep ’aqidah, syari’ah dan tasawuf dengan corak moderat. Salah satu ciri intrinsik paham ini —sebagai identitas— ialah kesimbangan pada dalil naqliyah dan ‘aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.
Dalam makalah yang singkat ini penulis banyak mengutip tulisan Dr.(HC) KH. Sahal Madhud dalam bukunya “Nuansa Fiqih Sosial”. Untuk mengawali makalah ini ada sebuah pertanyaan, yaitu; Apakah masih dimungkinkan untuk re-interpretasi nilai-nilai Aswaja yang notabene sudah berumur hampir satu abad —persisnya 84 tahun—, terhitung sejak tahun berdirinya NU tahun 1926.
Pembahasan
Manusia adalah khalifah Allah di atas bumi, yang sekaligus mempunyai fungsi ganda, pertama, ‘ibadatullah yang kedua, ‘imaratu al-ardl. Dua fungsi yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapata dipisahkan. Bahkan fungsi yang kedua sangat mempengaruhi kualitas fungsi yang pertama dalam rangka mencapai tujuan hidup yakni sa’adatud darain. Makna hidup manusia akan tergantung pada kemampuan melakukan fungsinya sesuai dengan perkembangan kehidupan yang selalu beruabah seiring dengan transformasi kultural yang menuntut pengendalian orientasi dan tata nilai yang Islami.
Dalam konteks ini, Aswaja harus mampu mendorong pengikutnya dan umat pada umumnya agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk saling memanusiakan. Aswaja juga harus menggugah kesadaran umat terhadap ketidakberdayaan, keterbelakangan serta kelemahan mereka merupakan akibat dari suatu keadaan dan peristiwa kemanusiaan yang dibuat atau dibentuk oleh manusia yang sudah barang tentu dapat diatasi oleh manusia pula.
Tentu saja, penumbuhan kesadaran tersebut masih dalam konteks melaksanakan ajaran Islam Aswaja, agar mereka tidak kehilangan nilai-nilai Islami. Justru malah potensi ajaran Islam Aswaja dikembangkan secara aplikatif ke dalam proses pengembangan masyarakat. Pada gilirannya pembangunan manusia seutuhnya akan dapat dicapai melalui ajaran Islam Aswaja yang kontekstual di tengah-tengah keragaman komunitas nasional.
Untuk melakukan pembangunan masyarakat sekarang maupun esok, pendekatan yang paling tepat adalah yang langsung mempunyai implikasi dengan kebutuhan dari aspek-aspek kehidupan. Karena dengan demikian masyarakat terutama di pedesaan akan bersikap tanggap secara positif.
Kondidi dinamis sebagai kesadaran yang muncul, merupakan kesadaran masyarakat dalam transisi yang perlu diarahkan pada pemecahan masalah, pada gilirannya mereka di samping menyadari tema-tema jamannya juga menumbuhkan kesadaran kritis. Kesadaran ini akan meningkatkan kreativitas, menambah ketajaman dalam menafsirkan masalah dan sekaligus menghindari distorsi dalam memahami maslah itu. Kesadaran kritis ini memungkinkan masyarakat memahami faktor-faktor yang melingkupi aktivitasnya dan kemudian mampu melibatkan diri atas hal-hal yang membentuk masa depannya.
*****
Kebutuhan akan rumusan konsep aktualisasi Islam Aswaja, menjadi amat penting adanya. Konsep itu akan menyambung kesenjangan yang terjadi selama ini, antara aspirasi keagamaan Islam dan kenyataan yang ada. Suatu kesenjangan yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin dalam proses pembangunan masyarakat, yang cenderung maju atas dorongan inspirasi kebutuhan hidup dari dimensi biologis semata.
Merumuskan konsep-konsep yang dimaksud, memang tidak semudah diucapkan. Identifikasi masalah-masalah sosial secara general dan spesifik masih sulit diupayakan, sehingga konsep aktualisasi secara utuh pun tidak mudah diformulasikan. Akan tetapi secara sektoral, aktualisasi itu dapat dikonseptualisasikan secara jelas dalam konteks pendekatan masalah yang dilembagakan secara sistematis, terencana dan terarah sesuai dengan strategi yang ingin dicapai.
Kemampuan melihat masalah, sekaligus kemampuan menggali ajaran Islam Aswaja yang langsung atau tidak langsung bisa diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan implementatif yang dilembagakan, menjadi penting. Masalah yang sering disinggung oleh berbagai pihak dan menarik perhatian adalah keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan yang ada pada garis lingkar-bali (daur). Rumusan Khitah 26 pasal ke-6 juga menyinggung keprihatinan NU atas manusia yang terjerat oleh tiga masalah itu.
Aktualisasi Islam Aswaja dalam hal ini menurut rumusan yang jelas, adalah sebagai konsep motivator untuk menumbuhsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat perubahan nilai yang terjadi.
Dari sisi lain, ada yang menarik dari konsep Aswaja mengenai upaya penanggulangan kemiskinan. Konsep ini sangat potensial, namun jarang disinggung, bahkan hampir-hampir dilupakan. Yaitu bahwa orang muslim yang mampu berkewajiban menafkahi kaum fakir miskin, bila tidak ada baitul mal al-muntadzin. Konsep ini mungkin perlu dilembagakan. Dan masih banyak lagi konsep-konsep ibadah sosial dalam Islam Aswaja yang mungkin dilembagakan sebagai aktualisasinya.
Ajaran Islam Aswaja bukan saja sebagai sumber nilai etis dan manusiawi yang bisa diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat, namun ia secara multi dimensional sarat juga dengan norma keselarasan dan keseimbangan, sebagaimana yang dituntut oleh pembangunan. Dari dimensi sosial misalnya, Islam Aswaja mempunyai kaitan yang kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena syariat Islam itu sendiri, justru mengatur hubungan antara manusia individu dengan Allah, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Hubungan yang kedua itu terumuskan dalam prinsip mu’amalah yang bila dijabarkan mampu membongkar kelemahan sekaligus memberi solusi bagi paham kapitalisme dan sosialisme. Konsep itu terumuskan dalam prinsip mu’asyarah yang tercermin dalam berbagai dimensi hubungan interaktif dalam struktur sosial yang kemudian dipertegas oleh rumusan Khitah 26 butir empat, tentang sikap kemasyarakatan NU sebagai aktualisasinya.
Tentang hubungan ketiga antara manusia dengan lingkungannya terumuskan dalam prinsip kebebasan mengkaji, mengelola dan memanfaatkan alam ini untuk kepentingan manusia dengan tata keseimbangan yang lazim, tanpa sikap ishraf (melampaui batas) dan tentu saja dengan lingkungan maslahah. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam itu tentu saja berorientasi pada prinsip mu’syarah maupun mu’amalah yang menyangkut berbagai bentuk kegiatan perekonomian yang berkembang. Ini berarti diperlukan konsep mu’amalah secara utuh yang mampu mengadaptasikan perkembangan perekonomian dewasa ini sebagai aktualisasi ajaran Islam Aswaja tersebut.
Ihtitam
Dengan ulasan makalah yang singkat tersebut bisa dikonklusikan, bahwa ternyata aktualisasi ajaran Islam Aswaja pada dasarnya sangat multidimensional. Namun kalau diklasifikasikan ada tiga dimensi sosial sebagaimana syariat Islam itu sendiri, yaitu; hubungan antara manusia sebagai individu (vs) Allah; antara manusia (vs) manusia, dan manusia (vs) alam lingkungannya.
Selanjutnya hal yang cukup mendesak untuk aplikasikan adalah aktualisasi Islam Aswaja sebagaimana dirumuskan ketika NU Khittah 26. Dimana dalam rumusan tersebut disebutkan bahwa aktualisasi Islam Aswaja adalah sebagai motivator untuk menumbuhsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat pergeseran nilai yang begitu deras di masyarakat.

Junaid al-Baghdadi dan Aswaja NU

Para pendiri NU memilih Imam Junaid al-Baghdadi sebagai panutan Nahdliyin bertasawuf karena konsep suluk ortodoks yang ditawarkannya: Tasawuf dengan titik pada syariah. Dalam hal ini Imam Junaid dianggap sebagai teoritis mazhab sufi. Dan, sejauh penelisikan saya, para pendiri NU hanya menjadikan Imam Junaid sebagai satu-satunya sandaran Aswaja NU dalam tasawuf, bukan Imam Ghazali. Apa alasannya?

***

Mas Dedy van Delft,

Terimakasih atas penjelasannya yang panjang lebar. Mencerahkan. Para pendiri NU memilih Imam Junaid al-Baghdadi sebagai panutan Nahdliyin bertasawuf karena konsep suluk ortodoks yang ditawarkannya: Tasawuf dengan titik pada syariah. Dalam hal ini Imam Junaid dianggap sebagai teoritis mazhab sufi.

Sejauh penelisikan saya, para pendiri NU hanya menjadikan Imam Junaid sebagai satu-satunya sandaran Aswaja NU dalam tasawuf, bersama-sama dengan empat imam mazhab dalam ber-fiqh, berserta Imam Asy'ari dan Imam Maturidi dalam aqidah. Selama ini saya belum pernah menemukan tasawuf Aswaja NU disandarkan pada Imam Ghazali, kecuali pada beberapa buku saja. (Tapi saya gagal mendapati rujukan dan sumber yang mereka pakai). Kenapa? Karena Imam Ghazali bukanlah seorang teoritis pertama, tetapi hanya sebagai seorang penegas posisi syariah dalam tasawuf.

Kendati begitu, Louis Massignon dalam bukunya 'Passion of al-Hallaj' mengkritik Imam Junaid sebagai seorang teoritis tasawuf belaka yang tidak memiliki pengalaman mistik. Apa alasannya? Karena ia menemukan Junaid di jarak yang berlawanan dari pengalaman dzouq al-Hallaj. Di sini, saya baca, Massignon, sebagai pakar al-Hallaj, terlampau terkagum-kagum pada tokoh yang dikajinya, bukan pada pada kecerdasan Imam Junaid yang bisa memadukan dzouq tasawuf dengan syariah. Tetapi, menariknya, ketika kemudian Massignon menulis dalam 'Essai sur les origines du lexique technique de la mystique musulmane', ia mencatat bahwa banyak doktrin bagus Junaid diambil oleh al-Hallaj. Sebuah apologi Massignon atas kritikan sebelumnya. Akhirnya, Massignon pun mengakui kehebatan Junaid sebagai seorang teoritis yang mampu membedakan secara tajam antara Tuhan dan manusia.

Di samping itu, pilihan pada Imam Junaid oleh para pendiri NU, saya lihat, berangkat dari perdebatan wacana keislaman masa itu. Di Semenanjung Arabia, Wahabi getol menghapuskan tasawuf dari khasanah keislaman. Karena itu NU membentengi Aswaja dengan Tasawuf. Sementara itu, pada saat yang sama, dunia Islam juga sedang mencari sebab-sebab kemunduran yang diderita dunia Islam. Abduh, sebagai pelopor gerakan ini, menuduh: Tasawuf lah biang kerok kemunduran dunia Islam, terutama ajaran zuhudnya. Lalu, kesimpulan saya, para pendiri NU menetapkan Imam Junaid. Kenapa? Karena Imam Junaid memiliki teori zuhud paling manusiawi. Imam Junaid menegaskan: "Zuhud bukan dengan meninggalkan dunia, tetapi dengan menempatkannya hanya di tangan, bukan di hati." (lihat `Risalah al-Qusyairiyah', Imam Qusyairi). Imam Junaid sendiri, selain dikenal sebagai seorang guru tasawuf, juga dikenal sebagai seorang pedagang. Setiap pagi Imam Junaid akan datang ke pasar, membuka kedai. Setelah itu sisa waktunya dilanjutkan untuk mengajar santri-santrinya, dan untuk beribadah.

Pilihan pada Imam Junaid, saya duga, juga karena NU sendiri awalnya adalah Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan para Pedagang) sebelum menjadi Nahdlatul Ulama. Kira-kira semacam dasar untuk pertahanan dari serangan kalangan Modernis. Dengan dasar teori zuhud Junaid ini, sebenarnya, kalangan Nahdliyin lah yang lebih siap menghadapi pasar bebas dan zaman kapitalisme global. Jika di zaman seperti sekarang ini Ahmad Baso masih mendongeng ideologi utopian sosialis, maka berarti sama saja dengan mengingkari sejarah NU dan dasar Aswaja Nahdliyin. Sebuah kemunduran dalam mendongeng. Ahmad Baso menulis: Indonesia sebagai negara penghasil minyak, kini terperosok menjadi negara pengimpor. Impornya dari Singapura lagi - sejak kapan Singapura menjadi negara minyak? Pertanyaan yang cerdas. Namun, jawabannya bukan dengan "ber-utopian" seperti Baso, bermimpi untuk tidak menjadi bangsa kuli tapi tanpa mempersiapkan SDM dan mengasah sifat inovatif dalam zaman persaingan pasar. Lagi pula, di zaman seperti sekarang ini, kok, Baso masih mengelu-elukan Pramudya Ananta Tur. Pertanyaan saya: Negara sosialis mana yang telah berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya? Kagak ada. `Nehi hai', seperti kata orang India.

Gus
Jam'iyah Ahlussunnah wal Jama'ah (Jaluhwaja) Cirebon
Jama'ah Istighotsah Al-Karomah Indonesia
Pondok Pesantren Ulumuddin
Aswaja (Antara Rasonalis Liberal dan Konserfatif Tekstual)
oleh: Nursyamsudin, MA (Pembantu Dekan II Fakultas Syari'ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

Terma ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) pada awalnya memiliki konotasi sebagai paham teologis (Kalam)dalam islam yang dirumuskan pertama kali ploh Imam Abu Hasan Al-As’ari (w. 324 H/936 M) dan Abu Manshur al Maturidi (w. 333H/944 M) .Dalam perkembangan sejarahnya kemudian istilah tersebut mencakup paham keagamaan dalam dimensi yang lebih luas,meliputi islam eksoteris : hukum atau fiqh dan dimensi eksoteris (akhlak,tasawuf). Dalam aspek hukum Aswaja menganut sistem yang dirumuskan pada pendiri mazhab besar terutama :Hanafi,Maliki,Syafi’I dan Hambali.Sementara dalam aspek Tasawuf – Akhlak menganut aturan-aturan yang disusun oleh Abu Hamid al Ghozali dan Abu Qasim al-Junaidi.

Melihat sejarah awal pembentukanya,system doktrin Aswaja, lahir dalam kerangka merespon perkembengan pemikiran umat islam pada masanya yang cenderung telah bersifat ekstrim baik kanan maupun kiri terutama dalam persoalan ilmu kalam. Asy’ari dan Maturidi hadir untuk menengahi kedua pikiran ekstrim itu.misalnya ekstrimitas antara golongan Qadariyah dan Jabariyah dalam soal kebebasan tindakan manusia,dan antara golongan rasionalis-libaral dan konservatif tekstual tentang sifat-sifat Tuhan.Dua tema inilah yang paling krusial dalam perdebatan dalam kalam.Dalam soal kebebesan bertindak (af’al al-‘ibad) golongan Qadariyah mempercayai kebebasan manusia.Tuhan menurut mereka telah memberikan kemempuan kepada manusia untuk bertindak bebas dan karena itu ia harus bertanggung jawab atas akibat-akibatnya.Sementara golongan Jabariyah meyakini bahwa manusia tidak bebas.seluruh tindakan manusia sudah di tentukan dan diatur Tuhan.Jadi tindakan manusia adalah keterpaksaan (majbur) bagaikan kafas yang ditiup angin .Asy’ari dan Maturidi menengahi keduanya melalui teori kasb (perolehan).

Menuret teori ini perbuatan tidak dilakukan dalam keadaan bebas tetapi juga dalam keterpaksaan.Perbuatan manusia tetap ditentukan Tuhan tetepi manusia diberikan hak untuk memilih (ikhtiar).Dalam bahasa masyarakat :Manusia berencana Tuhan yang menentukan.Di pesantren doktrin Aswaja ini di kemukakan misalnya dalam kitab Jauhar al Tauhid bagi kita (Aswaja) manusia terbebani oleh kasb, dan ketahuilah bahwa ia tidak mempengaruhi tindakanya. Jadi manusia bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas. Namun tidak seorangpun mampu berbuat sekehandaknya. Pada sisi lain teologi aswaja, meskipun secara umum menempatkan naql (nash) di atas akal (taqdim al naql ‘ala al aql) tetapi ia juga berusaha menengahi dua kubu yang berlawanan. Yakni antara kubu rasionalis- liberal yang diwakili oleh mu’tazilah dan kubu tekstualis-fundamentalis yang anti takwil yang diwakili kelompok mujassimah. Ini misalnya muncul dalam kajian teks-teks mutasyabihat. Aswaja mengapresiasi dua kategori: salaf dan khalaf. Golongan salaf lebih banyak menolak takwil. Mereka memaknai ayat-ayat mutasyabihat menurut makna harfiahnya, sementara golongan khalaf menerima takwil sepanjang sejalan dengan kaedah-kaedah bahasa arab dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip islam. Dalam dimensi fiqh, aswaja menghargai pandangan ahl al hadist yang lebih menekankan pemahaman tekstual seperti pada umumunya madzhab hambali disatu sisi dan pandangan ahl al ra’yi yang menerima analogi qiyas, seperti pada umumnya madzhab hanafi pada sisi lain. Dalam bidang tasawuf, aswaja berada diantara tasawuf salafi dan tasawuf falsafi.Tasawuf Sunni tidak menganut paham ittihad (Penyatuan Eksistensi).Tasawuf Sunni brakhir pada akhlak dan menghargai tradisi-tradisi masyarakat seperti ziarah kubur,muludan, marhabanan, tahlilan dan sejenisnya.
Beberapa pandangan Aswaja di atas memperlihatkan kepada kita ciri utama Aswaja yaitu al tawassuth (moderat) atau jalan tengah dan tasamuh (toleran). Inilah yang menjadikan Aswaja dapat tetap dalam kurun waktu yang sangat panjang dan menyebar luas di berbagai belahan dunia muslim. Pendekatan keagamaan Aswaja yang moderat tersebut dewasa ini menjadi signifikan dalam mengatasi berbagi persoalan yan berkembang dan terutama ketika munculnya cara-cara keberagamaan yang ekstrim atau radikal (tatharruf) baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Dengan begitu, maka Aswaja dapat menerima perkembangan pengetahuan yang berbasis rasionalitas dari manapun datangnya,tetapi juga tetap menghargai pemahaman keagamaan yang sederhana sepanjang membrikan manfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan mereka.inilah yang dalam tradisi NU dikenal dengan kaedah al Muhafazhah ‘ala al qadim al Shalih wa al Akhdz bi al Jaded al Ashlah (mempertahankan tradisi/pemikiran lama yang baik dan mengadopsi tradisi atau pemikiran baru yang lebih baik (dari manapun datangnya).

Berangkat dari paradigma Aswaja tersebut maka tampak jelas bahwa kaum Aswaja tidak mudah mengkafirkan atau mensyirikan orang lain hanya karena dia menggunakan takwil atas teks-teks agama. Ini tentu berbeda dengan perilaku kelompok Islam garis keras di Indonesia dewasa ini.kaum Aswaja juga bahkan tidak mudah menuduh sesat (bid’ah) terhadap mereka yang berseberangan pendapat menyangkut pengembangan tradisi masyarakat dan pemikiran keagamaan.dalam tradisi fiqh sikap Aswaja ini dikemukakan dalam ucapan para ulama fiqh: Ra’yuna shawab yahtamil al khata; wa ra’yu ghairina yahtamil al shawab (pendapat kami benar meski mungkin keliru,dan pendapat orang lain keliru dan mungkin saja benar).
Pada sisi lain kaum Aswaja tidak sepenuhnya membiarkan berkembangnya pehaman yamg serba menghalalkan segala cara (ibahiyyah).Untuk menjembatani kesenjamgan pemahaman antar umat,kaum sunni mengemukakan prinsip musyawarah atau syura untuk mencapai kesepakatan dengan damai,tanpa ekerasan.Paradigma Aswaja di atas diyakini banyak pihak masih memiliki relevansi untuk mengatasi problem politik umat islam Indonesia yang berada dalam situasi yang menghawatirkan.Aswajalah golongan yang menjawab telak tuduhan ekstrimis atau teriris yang di alamatkan kepada islam.hal ini karena Aswaja tidak pernah mengenal penggunaan cara-cara radikal atau cara-cara kekerasan atas nama atau simbol agama terhadap orang lain meski mereka berbeda aliran keagamaan bahkan terhadap mereka yang brbeda agamanya.aswaja juga tidak pernah menganjurkan pengikutnya untuk memulai perang terhadap orang kafir/non muslim.Perang dapat di jalankan hanya dalam rangka membela diri dari serangan mereka.Jika ada kemungkaran yang terjadi dalam kemungkaran yang terjadi dalam masyarakat,mengajarkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar melalui hikmah (ilmu pengetahuan), mauizhah hasanah (nasehat yang santun) dan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang tebaik.Cara lain adalah melalui aturan-aturan hukum yang adil dan di laksanakan dengan konsekuen.Hukum yang adil adalah pilar utama bagi kehidupan utama masyarakat bangsa.Demikianlah,maka adalah jelas Aswaja menolak cara-cara penyebaran agama dengan kekerasan baik fisik, psikis maupun pembunuhan karakter. dengan ungkapan lain mereka menggunakan kekerasan dalam menyebarkan agama, meski dengan mengatasnamakan agama atau umat Islam bukan bagian dari masyarakat aswaja.