Minggu, 18 Agustus 2013
Diksi
Diksi
Apa itu Diksi ?
Diksi, dalam arti aslinya dan pertama, merujuk pada
pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis atau pembicara. Arti kedua, arti
“diksi” yang lebih umum digambarkan dengan enunsiasi kata – seni berbicara
jelas sehingga setiap kata dapat didengar dan dipahami hingga kompleksitas dan
ekstrimitas terjauhnya. Arti kedua ini membicarakan pengucapan dan intonasi,
daripada pemilihan kata dan gaya.
Adapun menurut tokoh Gorys Keraf (2002) mengemukakan
poin-poin penting tentang diksi.
Plilihan kata
atau diksi mencakup pengertian
kata–kata mana yang harus dipakai untuk mencapai suatu gagasan, bagaimana
membentuk pengelompokan kata–kata yang tepat atau menggunakan
ungkapan–ungkapan, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
Pilihan kata
atau diksi adalah kemampuan
membedakan secara tepat nuansa–nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan
dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan
nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.
Pilihan kata
yang tepat dan sesuai hanya
dimungkinkan oleh penguasa sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata
bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud pembendaharaan kata atau kosa kata suatu
bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki suatu bahasa.
Diksi memiliki beberapa bagian; pendaftaran – kata
formal atau informal dalam konteks sosial – adalah yang utama. Analisis diksi
secara literal menemukan bagaimana satu kalimat menghasilkan intonasi dan
karakterisasi, contohnya penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan gerakan
fisik menggambarkan karakter aktif, sementara penggunaan kata-kata yang
berhubungan dengan pikiran menggambarkan karakter yang introspektif. Diksi juga
memiliki dampak terhadap pemilihan kata dan sintaks.
Diksi terdiri dari delapan elemen yaitu : Fonem,
Silabel, Konjungsi, Hubungan, Kata benda, Kata kerja, Infleksi, dan Uterans.
Berikut adalah Fungsi Diksi :
- Melambangkan gagasan yang diekspresikan secara verbal.
- Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat (sangat resmi, resmi, tidak resmi) sehingga menyenangkan pendengar atau pembaca.
- Menciptakan komunikasi yang baik dan benar.
- Menciptakan suasana yang tepat.
- Mencegah perbedaan penafsiran.
- Mencegah salah pemahaman.
- Mengefektifkan pencapaian target komunikasi.
Kalimat Efektif
Menurut saya pribadi, Kalimat Efektif adalah kalimat
yang mampu menyampaikan dengan baik apa yang penulis sampaikan sehingga membuat
sang pembaca dapat menangkap maksudnya.
Adapun menurut Gorys Keraf, kalimat efektif adalah
kalimat yang
* Secara tepat dapat mewakili gagasan atau perasaan
pembicara atau penulis
* Sanggup menimbulkan gagasan yang sama tepatnya dalam
pikiran pendengar atau pembaca seperti yang dipikirkan oleh pembicara/penulis.
Bagaimana mengetahui kalimat yang kita baca atau
gunakan adalah Kalimat Efektif ?
Nah, berikut adalah ciri-ciri Kalimat Efektif :
1. Memiliki unsur penting atau pokok,
minimal unsur SP.
2. Taat terhadap tata aturan ejaan yang
berlaku.
3. Menggunakan diksi yang tepat.
4. Menggunakan kesepadanan antara struktur bahasa dan jalan
pikiran yang logis dan sistematis.
5. Menggunakan kesejajaran bentuk bahasa
yang dipakai.
6. Melakukan penekanan ide pokok.
7. Mengacu pada kehematan penggunaan kata.
8. Menggunakan variasi struktur kalimat.
Kalimat Efektif digunakan pada tulisan ilmiah seperti
makalah, skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian, dan sebagainya
Syarat Kalimat efektif adalah secara tepat mewakili
pikiran pembicara atau penulisnya serta dapat mengemukakan pemahaman yang sama
tepatnya antara pikiran pendengar atau pembaca dengan yang dipikirkan pembaca
atau penulisnya.
Adapun syarat-syarat lainnya, diantaranya adalah :
>> Kesepadanan, harus memenuhi unsur gramatikal
yaitu unsur subjek (S), predikat (P), objek (O), keterangan (K).
>> Kecermatan Dalam Pemilihan dan Penggunaan
Kata, Dalam
membuat kalimat efektif jangan sampai
menjadi kalimat yang ambigu (menimbulkan tafsiran ganda).
>> Kehematan, Kehematan
dalam kalimat efektif maksudnya adalah hemat dalam mempergunakan
kata, frasa, atau bentuk lain yang dianggap tidak perlu, tetapi tidak menyalahi
kaidah tata bahasa.
>> Kelogisan, ide kalimat itu dapat
dengan mudah dipahami dan penulisannya sesuai dengan ejaan yang berlaku.
>> Kesatuan atau Kepaduan, kepaduan
pernyataan dalam kalimat itu, sehingga informasi yang disampaikannya
tidak terpecah-pecah.
>> Keparalelan atau Kesajajaran, kesamaan
bentuk kata atau imbuhan yang digunakan dalam kalimat itu.
>> Ketegasan, suatu perlakuan penonjolan terhadap
ide pokok dari kalimat.
Kesimpulan dari tulisan diatas menurut saaya adalah
Diksi dan Kalimat Efektif terdapat kesamaan yaitu kesamaan dalam bentuk
penyampaian dan pemahamannya sehingga penerapaanya pun juga terdapat
persamaan-persamaan.
fungsi bahasa
Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan
serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada
komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup
tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan
berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai
bahasanya.
Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.
Fungsi Bahasa Dalam Masyarakat :
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3. Alat untuk mengidentifikasi diri.
Macam-Macam dan Jenis-Jenis Ragam / Keragaman Bahasa :
1. Ragam bahasa pada bidang tertentu seperti bahasa istilah hukum, bahasa sains, bahasa jurnalistik, dsb.
2. Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya bahasa mantan presiden Soeharto, gaya bahasa benyamin s, dan lain sebagainya.
3. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu wilayah atau dialek seperti dialek bahasa madura, dialek bahasa medan, dialek bahasa sunda, dialek bahasa bali, dialek bahasa jawa, dan lain sebagainya.
4. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu golongan sosial seperti ragam bahasa orang akademisi beda dengan ragam bahasa orang-orang jalanan.
5. Ragam bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan.
6. Ragam bahasa pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal (baku) dan informal (tidak baku).
Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara / target komunikasi.
Bahasa isyarat atau gesture atau bahasa tubuh adalah salah satu cara bekomunikasi melalui gerakan-gerakan tubuh. Bahasa isyarat akan lebih digunakan permanen oleh penyandang cacat bisu tuli karena mereka memiliki bahasa sendiri.
1.Ragam Dan Laras Bahasa
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Menurut Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi remi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.
Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, yaitu (1) ragam bahasa lisan, (2) ragam bahasa tulis. Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalamragam bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan). Selain itu aspek tata bahasa dan kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragambahasa itu berkembang menjdi sistem bahasa yang memiliki seperangkat kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada pula kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing-masing memiliki seperangkat kaidahyang berbeda satu dari yang lain.
1.1Ragam Bahasa
Di dalam bahasa Indonesia disamping dikenal kosa kata baku Indonesia dikenal pula kosa kata bahasa Indonesia ragam baku, yang alih-alih disebut sebagai kosa kata baku bahasa Indonesia baku. Kosa kata baasa Indonesia ragam baku atau kosa kata bahasa Indonesia baku adalah kosa kata baku bahasa Indonesia, yang memiliki ciri kaidah bahasa Indonesia ragam baku, yang dijadikan tolok ukur yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan penutur bahasa Indonesia, bukan otoritas lembaga atau instansi di dalam menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Jadi, kosa kata itu digunakan di dalam ragam baku bukan ragam santai atau ragam akrab. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan digunakannya kosa kata ragam baku di dalam pemakian ragam-ragam yang lain asal tidak mengganggu makna dan rasa bahasa ragam yang bersangkutan.
Suatu ragam bahasa, terutama ragam bahasa jurnalistik dan hukum, tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan bentuk kosakata ragam bahasa baku agar dapat menjadi anutan bagi masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Dalam pada itu perlu yang perlu diperhatikan ialah kaidah tentang norma yang berlaku yang berkaitan dengan latar belakang pembicaraan (situasi pembicaraan), pelaku bicara, dan topik pembicaraan (Fishman ed., 1968; Spradley, 1980).
Menurut Felicia (2001 : 8), ragam bahasa dibagi berdasarkan :
Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.
Fungsi Bahasa Dalam Masyarakat :
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3. Alat untuk mengidentifikasi diri.
Macam-Macam dan Jenis-Jenis Ragam / Keragaman Bahasa :
1. Ragam bahasa pada bidang tertentu seperti bahasa istilah hukum, bahasa sains, bahasa jurnalistik, dsb.
2. Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya bahasa mantan presiden Soeharto, gaya bahasa benyamin s, dan lain sebagainya.
3. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu wilayah atau dialek seperti dialek bahasa madura, dialek bahasa medan, dialek bahasa sunda, dialek bahasa bali, dialek bahasa jawa, dan lain sebagainya.
4. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu golongan sosial seperti ragam bahasa orang akademisi beda dengan ragam bahasa orang-orang jalanan.
5. Ragam bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan.
6. Ragam bahasa pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal (baku) dan informal (tidak baku).
Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara / target komunikasi.
Bahasa isyarat atau gesture atau bahasa tubuh adalah salah satu cara bekomunikasi melalui gerakan-gerakan tubuh. Bahasa isyarat akan lebih digunakan permanen oleh penyandang cacat bisu tuli karena mereka memiliki bahasa sendiri.
1.Ragam Dan Laras Bahasa
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Menurut Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi remi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.
Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, yaitu (1) ragam bahasa lisan, (2) ragam bahasa tulis. Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalamragam bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan). Selain itu aspek tata bahasa dan kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragambahasa itu berkembang menjdi sistem bahasa yang memiliki seperangkat kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada pula kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing-masing memiliki seperangkat kaidahyang berbeda satu dari yang lain.
1.1Ragam Bahasa
Di dalam bahasa Indonesia disamping dikenal kosa kata baku Indonesia dikenal pula kosa kata bahasa Indonesia ragam baku, yang alih-alih disebut sebagai kosa kata baku bahasa Indonesia baku. Kosa kata baasa Indonesia ragam baku atau kosa kata bahasa Indonesia baku adalah kosa kata baku bahasa Indonesia, yang memiliki ciri kaidah bahasa Indonesia ragam baku, yang dijadikan tolok ukur yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan penutur bahasa Indonesia, bukan otoritas lembaga atau instansi di dalam menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Jadi, kosa kata itu digunakan di dalam ragam baku bukan ragam santai atau ragam akrab. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan digunakannya kosa kata ragam baku di dalam pemakian ragam-ragam yang lain asal tidak mengganggu makna dan rasa bahasa ragam yang bersangkutan.
Suatu ragam bahasa, terutama ragam bahasa jurnalistik dan hukum, tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan bentuk kosakata ragam bahasa baku agar dapat menjadi anutan bagi masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Dalam pada itu perlu yang perlu diperhatikan ialah kaidah tentang norma yang berlaku yang berkaitan dengan latar belakang pembicaraan (situasi pembicaraan), pelaku bicara, dan topik pembicaraan (Fishman ed., 1968; Spradley, 1980).
Menurut Felicia (2001 : 8), ragam bahasa dibagi berdasarkan :
1.Media pengantarnya atau sarananya, yang terdiri atas :
a.Ragam lisan.
b.Ragam tulis.
Ragam lisan adalah bahasa yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Kita dapat menemukan ragam lisan yang standar, misalnya pada saat orang berpidato atau memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah; dan ragam lisan yang nonstandar, misalnya dalam percakapan antarteman, di pasar, atau dalam kesempatan nonformal lainnya.
Ragam tulis adalah bahasa yang ditulis atau yang tercetak. Ragam tulis pun dapat berupa ragam tulis yang standar maupun nonstandar. Ragam tulis yang standar kita temukan dalam buku-buku pelajaran, teks, majalah, surat kabar, poster, iklan. Kita juga dapat menemukan ragam tulis nonstandar dalam majalah remaja, iklan, atau poster.
2. Berdasarkan situasi dan pemakaian
Ragam bahasa baku dapat berupa : (1) ragam bahasa baku tulis dan (2) ragam bahasa baku lisan. Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.
Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsurdi dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan.
Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis.Kedua ragam itu masing-masing, ragam tulis dan ragam lisan memiliki ciri kebakuan yang berbeda.
Contoh perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis (berdasarkan tata bahasa dan kosa kata) :
1.Tata Bahasa
(Bentuk kata, Tata Bahasa, Struktur Kalimat, Kosa Kata)
a.Ragam bahasa lisan :
-Nia sedang baca surat kabar
-Ari mau nulis surat
-Tapi kau tak boleh nolak lamaran itu.
-Mereka tinggal di Menteng.
-Jalan layang itu untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
-Saya akan tanyakan soal itu
.b.Ragam bahasa Tulis :
-Nia sedangmembaca surat kabar
-Ari mau menulis surat
-Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran itu.
-Mereka bertempat tinggal di Menteng
-Jalan layang itu dibangun untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
-Akan saya tanyakan soal itu.
2.Kosa kata
Contoh ragam lisan dan tulis berdasarkan kosa kata :
a.Ragam Lisan
-Ariani bilang kalau kita harus belajar
-Kita harus bikin karya tulis
-Rasanya masih terlalu pagi buat saya, Pak
b.Ragam Tulis
-Ariani mengatakan bahwa kita harus belajar
-Kita harus membuat karya tulis.
-Rasanya masih terlalu muda bagi saya, Pak.
Istilah lain yang digunakan selain ragam bahasa baku adalah ragam bahasa standar, semi standar dan nonstandar.
a.ragam standar,
b.ragam nonstandar,
c.ragam semi standar.
Bahasa ragam standar memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes sehingga memungkinkan perubahan di bidang kosakata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berbagai jenis laras yang diperlukan dalam kehidupan modem (Alwi, 1998: 14).
Pembedaan antara ragam standar, nonstandar, dan semi standar dilakukan berdasarkan :
a.topik yang sedang dibahas,
b.hubungan antarpembicara,
c.medium yang digunakan,
d.lingkungan, atau
e.situasi saat pembicaraan terjadi
Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan nonstandar :
·penggunaan kata sapaan dan kata ganti,
·penggunaan kata tertentu,
·penggunaan imbuhan,
·penggunaan kata sambung (konjungsi), dan
·penggunaan fungsi yang lengkap.
Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan kata saya atau aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan menggunakan kata gue.
Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat menandai perbedaan ragam standar dan ragam nonstandar. Dalam ragam standar, digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku atau istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam standar kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti.
Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.
Contoh : (1) Ibu mengatakan, kita akan pergi besok
(1a) Ibu mengatakan bahwa kita akan pergi besok
Pada contoh (1) merupakan ragam semi standar dan diperbaiki contoh (1a) yang merupakan ragam standar.
Contoh : (2) Mereka bekerja keras menyelesaikan pekerjaan itu.
(2a) Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan itu.
Kalimat (1) kehilangan kata sambung (bahwa), sedangkan kalimat (2) kehilangan kata depan (untuk). Dalam laras jurnalistik kedua kata inisering dihilangkan. Hal ini menunjukkan bahwa laras jurnalistik termasuk ragam semi standar.
Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam standar dan nonstandar. Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu, predikat kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab pertanyaan orang. Misalnya, Hai, Ida, mau ke mana?” “Pulang.” Sering kali juga kita menjawab “Tau.” untuk menyatakan ‘tidak tahu’. Sebenarnya, pĂ«mbedaan lain, yang juga muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah Intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi inihanya ditemukan dalam ragam lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis.
1.2 Laras Bahasa
Pada saat digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa masuk dalam berbagai laras sesuai dengan fungsi pemakaiannya. Jadi, laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan pemakaiannya. Dalam hal ini kita mengenal iklan, laras ilmiah, laras ilmiah populer, laras feature, laras komik, laras sastra, yang masih dapat dibagi atas laras cerpen, laras puisi, laras novel, dan sebagainya.
Setiap laras memiliki cirinya sendiri dan memiliki gaya tersendiri. Setiap laras dapat disampaikan secara lisan atau tulis dan dalam bentuk standar, semi standar, atau nonstandar. Laras bahasa yang akan kita bahas dalam kesempatan ini adalah laras ilmiah.
2. Laras llmiah
Dalam uraian di atas dikatakan bahwa setiap laras dapat disampaikan dalam ragam standar, semi standar, atau nonstandar. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan laras ilmiah. Laras ilmiah harus selalu menggunakan ragam standar.
Sebuah karya tulis ilmiah merupakan hasil rangkaian gagasan yang merupakan hasil pemikiran, fakta, peristiwa, gejala, dan pendapat. Jadi, seorang penulis karya ilmiah menyusun kembali pelbagai bahan informasi menjadi sebuah karangan yang utuh. Oleh sebab itu, penyusun atau pembuat karya ilmiah tidak disebut pengarang melainkan disebut penulis (Soeseno, 1981: 1).
Dalam uraian di atas dibedakan antara pengertian realitas dan fakta. Seorang pengarang akan merangkaikan realita kehidupan dalam sebuah cerita, sedangkan seorang penulis akan merangkaikan berbagai fakta dalam sebuah tulisan. Realistis berarti bahwa peristiwa yang diceritakan merupakan hal yang benar dan dapat dengan mudah dibuktikan kebenarannya, tetapi tidak secara langsung dialami oleh penulis. Data realistis dapat berasal dan dokumen, surat keterangan, press release, surat kabar atau sumber bacaan lain, bahkan suatu peristiwa faktual. Faktual berarti bahwa rangkaian peristiwa atau percobaan yang diceritakan benar-benar dilihat, dirasakan, dan dialami oleh penulis (Marahimin, 1994: 378).
Karya ilmiah memiliki tujuan dan khalayak sasaran yang jelas. Meskipun demikian, dalam karya ilmiah, aspek komunikasi tetap memegang peranan utama. Oleh karenanya, berbagai kemungkinan untuk penyampaian yang komunikatif tetap harus dipikirkan. Penulisan karya ilmiah bukan hanya untuk mengekspresikan pikiran tetapi untuk menyampaikan hasil penelitian. Kita harus dapat meyakinkan pembaca akan kebenaran hasil yang kita temukan di lapangan. Dapat pula, kita menumbangkan sebuah teori berdasarkan hasil penelitian kita. Jadi, sebuah karya ilmiah tetap harus dapat secara jelas menyampaikan pesan kepada pembacanya.
Persyaratan bagi sebuah tulisan untuk dianggap sebagai karya ilmiah adalah sebagai berikut (Brotowidjojo, 1988: 15-16).
1.Karya ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan aplikasi hukum alam pada situasi spesifik.
2.Karya ilmiah ditulis secara cermat, tepat, benar, jujur, dan tidak bersifat terkaan. Dalam pengertian jujur terkandung sikap etik penulisan ilmiah, yakni penyebutan rujukan dan kutipan yang jelas.
3.Karya ilmiah disusun secara sistematis, setiap langkah direncanakan secara terkendali, konseptual, dan prosedural.
4.Karya ilmiah menyajikan rangkaian sebab-akibat dengan pemahaman dan alasan yang indusif yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan.
5.Karya ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan pembuktian berdasarkan suatu hipotesis.
6.Karya ilmiah ditulis secara tulus. Hal itu berarti bahwa karya ilmiah hanya mengandung kebenaran faktual sehingga tidak akan memancing pertanyaan yang bernada keraguan. Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta, tidak bersifat ambisius dan berprasangka. Penyajiannya tidak boleh bersifat emotif.
7.Karya ilmiah pada dasarnya bersifat ekspositoris. Jika pada akhirnya timbul kesan argumentatif dan persuasif, hal itu ditimbulkan oleh penyusunan kerangka karangan yang cermat. Dengan demikian, fakta dan hukum alam yang diterapkan pada situasi spesifik itu dibiarkan berbicara sendiri. Pembaca dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri berupa pembenaran dan keyakinan akan kebenaran karya ilmiah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dari segi bahasa, dapat dikatakan bahwa karya ilmiah memiliki tiga ciri, yaitu :
1.harus tepat dan tunggal makna, tidak remang nalar atau mendua makna
2.harus secara tepat mendefinisikan setiap istilah, sifat, dan pengertian yang digunakan, agar tidak menimbulkan kerancuan atau keraguan
3.harus singkat, berlandaskan ekonomi bahasa.
Disamping persyaratan tersebut di atas, untuk dapat dipublikasikan sebagai karya ilmiah ada ketentuan struktur atau format karangan yang kurang lebih bersifat baku. Ketentuan itu merupakan kesepakatan sebagaimana tertuang dalam International Standardization Organization (ISO). Publikasi yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ISO memberikan kesan bahwa publikasi itu kurang valid sebagai terbitan ilmiah (Soehardjan, 1997 : 10). Struktur karya ilmiah (Soehardjan, 1997 : 38) terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, bahan dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar pustaka.ISO 5966 (1982) menetapkan agar karya ilmiah terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, inti tulisan (teori metode, hasil, dan pembahasan), simpulan, dan usulan, ucapan terima kasih, dan daftar pustaka (Soehardjan, 1997 : 38).
3.Ragam Bahasa Keilmuan
Menurut Sunaryo, (1994 : 1), bahwa dalam berkomunikasi, perlu diperhatikan kaidah-kaidah berbahasa, baik yang berkaitan kebenaran kaidah pemakaian bahasa sesuai dengan konteks situasi, kondisi, dan sosio budayanya. Pada saat kita berbahasa, baik lisan maupun tulis, kita selalu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan bentuk-bentuk bahasa yang kita gunakan. Pada saat menulis, misalnya kita selalu memperhatikan siapa pembaca tulisan kita , apa yang kita tulis, apa tujuan tulisan itu, dan di media apa kita menulis. Hal yang perlu mendapat perhatian tersebut merupakan faktor penentu dalam berkomunikasi. Faktor-faktor penentu berkomunikasi meliputi : partisipan, topik, latar, tujuan, dan saluran (lisan atau tulis).
Partisipan tutur ini berupa PI yaitu pembicara/penulis dan P2 yaitu pembaca atau pendengar tutur. Agar pesan yang disampaikan dapat terkomunikasikan dengan baik, maka pembicara atau penulis perlu (a) mengetahui latar belakang pembaca/pendengar, dan (b) memperhatikan hubungan antara pembicara/penulis dengan pendengar/pembaca. Hal itu perlu diketahui agar pilihan bentuk bahasa yang digunakan tepat , disamping agar pesannya dapat tersampaikan, agar tidak menyinggung perasaan, menyepelekan, merendahkan dan sejenisnya.
Topik tutur berkenaan dengan masalah apa yang disampaikan penutur ke penanggap penutur. Penyampaian topik tutur dapat dilakukukan secara : (a) naratif (peristiwa, perbuatan, cerita), (b) deskriptif (hal-hal faktual : keadaan, tempat barang, dsb.), (c). ekspositoris, (d) argumentatif dan persuasif.
Ragam bahasa keilmuan mempunyai ciri :
(1)cendekia : bahasa Indonesia keilmuan itu mampu digunakan untuk mengungkapkan hasil berpikir logis secara tepat.
(2)lugas dan jelas : bahasa Indonesia keilmuan digunakan untuk menyampaikan gagasan ilmiah secara jelas dan tepat.
(3)gagasan sebagai pangkal tolak : bahasa Indonesia keilmuan digunakan dengan orientasi gagasan. Hal itu berarti penonjolan diarahkan pada gagasan atau hal-hal yang diungkapkan, tidak pada penulis.
(4)Formal dan objektif : komunikasi Ilmiah melalui teks ilmiah merupakan komunikasi formal. Hal ini berarti bahwa unsur-unsur bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahasa Indonesia keilmuan adalah unsur-unsur bahasa yang berlaku dalam situasi formal atau resmi. Pada lapis kosa kata dapat ditemukan kata-kata yang berciri formal dan kata-kata yang berciri informal (Syafi’ie, 1992:8-9).
Contoh :
Kata berciri formalKata berciri informal
Korpskorp
Berkatabilang
Karenalantaran
Suku cadangonderdil
4.Laras Ilmiah Populer
Laras ilmiah populer merupakan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah, tetapi diungkapkan dengan cara penuturan yang mudah dimengerti. Karya ilmiah populer tidak selalu merupakan hasil penelitian ilmiah. Tulisan itu dapat berupa petunjuk teknis, pengalaman dan pengamatan biasa yang diuraikan dengan metode ilmiah. Jika karya ilmiah harus selalu disajikan dalam ragam bahasa yang standar, karya ilmiah populer dapat disajikan dalam ragam standar, semi standar dan nonstandar. Penyusun karya ilmiah populer akan tetap disebut penulis dan bukan pengarang, karena proses penyusunan karya ilmiah populer sama dengan proses penyusunan karya ilmiah. Pembedaan terjadi hanya dalam cara penyajiannya.
Seperti diuraikan di atas, persyaratan yang berlaku bagi sebuah karya ilmiah berlaku pula bagi karya ilmiah populer. Akan tetapi, dalam karya ilmiah populer terdapat pula persoalan lain, seperti kritik terhadap pemerintah, analisis atas suatu peristiwa yang sedang populer di tengah masyarakat, jalan keluar bagi persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, atau sekedar informasi baru yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
Jika karya ilmiah memiliki struktur yang baku, tidak demikian halnya dengan karya ilmiah populer. Oleh karena itu, karya ilmiah populer biasanya disajikan melalui media surat kabar dan majalah, biasanya, format penyajiannya mengikuti format yang berlaku dalam laras jurnalistik. Pemilihan topik dan perumusan tema harus dilakukan dengan cermat. Tema itu kemudian dikerjakan dengan jenis karangan tertentu, misalnya narasi, eksposisi, argumentasi, atau deskripsi. Secara lebih rinci lagi, penulis dapat mengembangkan gagasannya dalam berbagai bentuk pengembangan paragraf seperti pola pemecahan masalah, pola kronologis, pola perbandingan, atau pola sudut pandang
Ragam dan Larang Bahasa
RAGAM DAN LARAS BAHASA
1. Ragam Dan Laras Bahasa
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa
menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut
hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium
pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai
ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan
terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam
suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut
ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Menurut Dendy Sugono (1999 : 9),
bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok,
yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi remi, seperti
di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku.
Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita
tidak dituntut menggunakan bahasa baku.
Ditinjau dari media atau sarana yang
digunakan untuk menghasilkan bahasa, yaitu (1) ragam bahasa lisan, (2) ragam
bahasa tulis. Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech)
dengan fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa
yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur
dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalam ragam bahasa lisan,
kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan
tata cara penulisan (ejaan). Selain itu aspek tata bahasa dan kosa kata dalam
kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa tulis yang
unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering
timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis
ragam bahasa itu berkembang menjdi sistem bahasa yang memiliki
seperangkat kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada pula kesamaannya.
Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing-masing
memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain.
1.1 Ragam Bahasa
Di dalam bahasa Indonesia disamping
dikenal kosa kata baku Indonesia dikenal pula kosa kata bahasa Indonesia ragam
baku, yang alih-alih disebut sebagai kosa kata baku bahasa Indonesia baku. Kosa
kata baasa Indonesia ragam baku atau kosa kata bahasa Indonesia baku adalah
kosa kata baku bahasa Indonesia, yang memiliki ciri kaidah bahasa Indonesia
ragam baku, yang dijadikan tolok ukur yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan
penutur bahasa Indonesia, bukan otoritas lembaga atau instansi di dalam
menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Jadi, kosa kata itu digunakan di dalam
ragam baku bukan ragam santai atau ragam akrab. Walaupun demikian, tidak
tertutup kemungkinan digunakannya kosa kata ragam baku di dalam pemakian
ragam-ragam yang lain asal tidak mengganggu makna dan rasa bahasa ragam yang
bersangkutan.
Suatu ragam bahasa, terutama ragam
bahasa jurnalistik dan hukum, tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan
bentuk kosakata ragam bahasa baku agar dapat menjadi anutan bagi masyarakat
pengguna bahasa Indonesia. Dalam pada itu perlu yang perlu diperhatikan ialah
kaidah tentang norma yang berlaku yang berkaitan dengan latar belakang
pembicaraan (situasi pembicaraan), pelaku bicara, dan topik pembicaraan
(Fishman ed., 1968; Spradley, 1980).
Menurut Felicia (2001 : 8), ragam
bahasa dibagi berdasarkan :
1. Media
pengantarnya atau sarananya, yang terdiri atas :
a. Ragam lisan.
b. Ragam tulis.
Ragam lisan adalah bahasa yang diujarkan oleh
pemakai bahasa. Kita dapat menemukan ragam lisan yang standar, misalnya pada
saat orang berpidato atau memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah;
dan ragam lisan yang nonstandar, misalnya dalam percakapan antarteman, di
pasar, atau dalam kesempatan nonformal lainnya.
Ragam tulis adalah bahasa yang
ditulis atau yang tercetak. Ragam tulis pun dapat berupa ragam tulis yang
standar maupun nonstandar. Ragam tulis yang standar kita temukan dalam
buku-buku pelajaran, teks, majalah, surat kabar, poster, iklan. Kita juga dapat
menemukan ragam tulis nonstandar dalam majalah remaja, iklan, atau poster.
2.
Berdasarkan situasi dan pemakaian
Ragam bahasa baku dapat berupa : (1)
ragam bahasa baku tulis dan (2) ragam bahasa baku lisan. Dalam penggunaan ragam
bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh
situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang
diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar
terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa
baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata,
penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta
kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.
Ragam bahasa baku lisan didukung
oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat.
Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan
dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam
struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena
situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna
gagasan yang disampaikan secara lisan.
Pembicaraan lisan dalam situasi
formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam
situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam
bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut
sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu,
bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis,
walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat
dikatakan sebagai ragam tulis. Kedua
ragam itu masing-masing, ragam tulis dan ragam lisan memiliki ciri kebakuan
yang berbeda.
Contoh perbedaan ragam bahasa lisan
dan ragam bahasa tulis (berdasarkan tata bahasa dan kosa kata) :
1.
Tata Bahasa
(Bentuk
kata, Tata Bahasa, Struktur Kalimat, Kosa Kata)
a.
Ragam bahasa lisan :
-
Nia sedang baca surat kabar
-
Ari mau nulis surat
-
Tapi kau tak boleh nolak lamaran itu.
-
Mereka tinggal di Menteng.
-
Jalan layang itu untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
-
Saya akan tanyakan soal itu
b.
Ragam bahasa Tulis :
-
Nia sedangmembaca surat kabar
-
Ari mau menulis surat
-
Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran itu.
-
Mereka bertempat tinggal di Menteng
-
Jalan layang itu dibangun untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
-
Akan saya tanyakan soal itu.
2.
Kosa kata
Contoh
ragam lisan dan tulis berdasarkan kosa kata :
a.
Ragam Lisan
-
Ariani bilang kalau kita harus belajar
-
Kita harus bikin karya tulis
-
Rasanya masih terlalu pagi buat saya, Pak
b.
Ragam Tulis
-
Ariani mengatakan bahwa kita harus belajar
-
Kita harus membuat karya tulis.
-
Rasanya masih terlalu muda bagi saya, Pak.
Istilah
lain yang digunakan selain ragam bahasa baku adalah ragam bahasa standar, semi
standar dan nonstandar.
a.
ragam standar,
b. ragam nonstandar,
c. ragam semi standar.
Bahasa ragam standar memiliki sifat
kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan tetapi, kemantapan itu tidak
bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes sehingga memungkinkan perubahan di
bidang kosakata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berbagai jenis
laras yang diperlukan dalam kehidupan modem (Alwi, 1998: 14).
Pembedaan antara ragam standar, nonstandar, dan semi standar
dilakukan berdasarkan :
a.
topik yang sedang dibahas,
b.
hubungan antarpembicara,
c.
medium yang digunakan,
d.
lingkungan, atau
e.
situasi saat pembicaraan terjadi
Ciri yang membedakan antara ragam
standar, semi standar dan nonstandar :
· penggunaan
kata sapaan dan kata ganti,
· penggunaan
kata tertentu,
· penggunaan
imbuhan,
· penggunaan
kata sambung (konjungsi), dan
· penggunaan
fungsi yang lengkap.
Penggunaan kata sapaan dan kata
ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam nonstandar yang sangat
menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa dengan
menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri
kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan kata saya atau aku. Dalam
ragam nonstandar, kita akan menggunakan kata gue.
Penggunaan kata tertentu merupakan
ciri lain yang sangat menandai perbedaan ragam standar dan ragam nonstandar.
Dalam ragam standar, digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku atau
istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam
ragam standar kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti.
Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan
(preposisi) merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali
kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu
kejelasan kalimat.
Contoh : (1) Ibu mengatakan, kita
akan pergi besok
(1a) Ibu mengatakan bahwa kita akan pergi
besok
Pada contoh (1) merupakan ragam semi standar dan diperbaiki
contoh (1a) yang merupakan ragam standar.
Contoh : (2) Mereka bekerja keras
menyelesaikan pekerjaan itu.
(2a) Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan
pekerjaan itu.
Kalimat (1) kehilangan kata sambung
(bahwa), sedangkan kalimat (2) kehilangan kata depan (untuk). Dalam laras
jurnalistik kedua kata ini sering dihilangkan. Hal ini menunjukkan bahwa laras
jurnalistik termasuk ragam semi standar.
Kelengkapan fungsi merupakan ciri
terakhir yang membedakan ragam standar dan nonstandar. Artinya, ada bagian
dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap cukup mendukung
pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu, predikat kalimat
dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab pertanyaan
orang. Misalnya, Hai, Ida, mau ke mana?” “Pulang.” Sering kali juga kita
menjawab “Tau.” untuk menyatakan ‘tidak tahu’. Sebenarnya,
pëmbedaan lain, yang juga muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah
Intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan
dan tidak terwujud dalam ragam tulis.
1.2
Laras Bahasa
Pada
saat digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa masuk dalam berbagai laras
sesuai dengan fungsi pemakaiannya. Jadi, laras bahasa adalah kesesuaian antara
bahasa dan pemakaiannya. Dalam hal ini kita mengenal iklan, laras ilmiah, laras
ilmiah populer, laras feature, laras komik, laras sastra, yang masih
dapat dibagi atas laras cerpen, laras puisi, laras novel, dan sebagainya.
Setiap
laras memiliki cirinya sendiri dan memiliki gaya tersendiri. Setiap laras dapat
disampaikan secara lisan atau tulis dan dalam bentuk standar, semi standar,
atau nonstandar. Laras bahasa yang akan kita bahas dalam kesempatan ini adalah
laras ilmiah.
2.
Laras llmiah
Dalam
uraian di atas dikatakan bahwa setiap laras dapat disampaikan dalam ragam
standar, semi standar, atau nonstandar. Akan tetapi, tidak demikian halnya
dengan laras ilmiah. Laras ilmiah harus selalu menggunakan ragam standar.
Sebuah karya tulis ilmiah merupakan
hasil rangkaian gagasan yang merupakan hasil pemikiran, fakta, peristiwa,
gejala, dan pendapat. Jadi, seorang penulis karya ilmiah menyusun kembali
pelbagai bahan informasi menjadi sebuah karangan yang utuh. Oleh sebab itu,
penyusun atau pembuat karya ilmiah tidak disebut pengarang melainkan
disebut penulis (Soeseno, 1981: 1).
Dalam
uraian di atas dibedakan antara pengertian realitas dan fakta. Seorang
pengarang akan merangkaikan realita kehidupan dalam sebuah cerita, sedangkan
seorang penulis akan merangkaikan berbagai fakta dalam sebuah tulisan.
Realistis berarti bahwa peristiwa yang diceritakan merupakan hal yang benar dan
dapat dengan mudah dibuktikan kebenarannya, tetapi tidak secara langsung
dialami oleh penulis. Data realistis dapat berasal dan dokumen, surat
keterangan, press release, surat kabar atau sumber bacaan lain, bahkan
suatu peristiwa faktual. Faktual berarti bahwa rangkaian peristiwa atau
percobaan yang diceritakan benar-benar dilihat, dirasakan, dan dialami oleh
penulis (Marahimin, 1994: 378).
Karya ilmiah memiliki tujuan dan
khalayak sasaran yang jelas. Meskipun demikian, dalam karya ilmiah, aspek
komunikasi tetap memegang peranan utama. Oleh karenanya, berbagai kemungkinan
untuk penyampaian yang komunikatif tetap harus dipikirkan. Penulisan karya
ilmiah bukan hanya untuk mengekspresikan pikiran tetapi untuk menyampaikan
hasil penelitian. Kita harus dapat meyakinkan pembaca akan kebenaran hasil yang
kita temukan di lapangan. Dapat pula, kita menumbangkan sebuah teori
berdasarkan hasil penelitian kita. Jadi, sebuah karya ilmiah tetap harus dapat
secara jelas menyampaikan pesan kepada pembacanya.
Persyaratan bagi sebuah tulisan
untuk dianggap sebagai karya ilmiah adalah sebagai berikut (Brotowidjojo, 1988:
15-16).
1.
Karya ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan
aplikasi hukum alam pada situasi spesifik.
2.
Karya ilmiah ditulis secara cermat, tepat, benar, jujur, dan tidak bersifat
terkaan. Dalam pengertian jujur terkandung sikap etik penulisan ilmiah,
yakni penyebutan rujukan dan kutipan yang jelas.
3.
Karya ilmiah disusun secara sistematis, setiap langkah direncanakan secara
terkendali, konseptual, dan prosedural.
4.
Karya ilmiah menyajikan rangkaian sebab-akibat dengan pemahaman dan alasan yang
indusif yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan.
5.
Karya ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan pembuktian
berdasarkan suatu hipotesis.
6.
Karya ilmiah ditulis secara tulus. Hal itu berarti bahwa karya ilmiah hanya
mengandung kebenaran faktual sehingga tidak akan memancing pertanyaan yang
bernada keraguan. Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta, tidak
bersifat ambisius dan berprasangka. Penyajiannya tidak boleh bersifat emotif.
7.
Karya ilmiah pada dasarnya bersifat ekspositoris. Jika pada akhirnya timbul
kesan argumentatif dan persuasif, hal itu ditimbulkan oleh penyusunan kerangka
karangan yang cermat. Dengan demikian, fakta dan hukum alam yang diterapkan
pada situasi spesifik itu dibiarkan berbicara sendiri. Pembaca dibiarkan
mengambil kesimpulan sendiri berupa pembenaran dan keyakinan akan kebenaran
karya ilmiah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dari
segi bahasa, dapat dikatakan bahwa karya ilmiah memiliki tiga ciri, yaitu :
1. harus tepat dan
tunggal makna, tidak remang nalar atau mendua makna
2. harus secara
tepat mendefinisikan setiap istilah, sifat, dan pengertian yang digunakan, agar
tidak menimbulkan kerancuan atau keraguan
3. harus singkat,
berlandaskan ekonomi bahasa.
Disamping persyaratan tersebut di
atas, untuk dapat dipublikasikan sebagai karya ilmiah ada ketentuan struktur
atau format karangan yang kurang lebih bersifat baku. Ketentuan itu merupakan
kesepakatan sebagaimana tertuang dalam International Standardization
Organization (ISO). Publikasi yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam ISO memberikan kesan bahwa publikasi itu kurang valid
sebagai terbitan ilmiah (Soehardjan, 1997 : 10). Struktur karya ilmiah
(Soehardjan, 1997 : 38) terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan,
bahan dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar
pustaka. ISO 5966 (1982) menetapkan agar
karya ilmiah terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, kata kunci,
pendahuluan, inti tulisan (teori metode, hasil, dan pembahasan), simpulan, dan
usulan, ucapan terima kasih, dan daftar pustaka (Soehardjan, 1997 : 38).
3.
Ragam Bahasa Keilmuan
Menurut Sunaryo, (1994 : 1), bahwa
dalam berkomunikasi, perlu diperhatikan kaidah-kaidah berbahasa, baik yang
berkaitan kebenaran kaidah pemakaian bahasa sesuai dengan konteks situasi,
kondisi, dan sosio budayanya. Pada saat kita berbahasa, baik lisan maupun
tulis, kita selalu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan bentuk-bentuk
bahasa yang kita gunakan. Pada saat menulis, misalnya kita selalu memperhatikan
siapa pembaca tulisan kita , apa yang kita tulis, apa tujuan tulisan itu,
dan di media apa kita menulis. Hal yang perlu mendapat perhatian tersebut
merupakan faktor penentu dalam berkomunikasi. Faktor-faktor penentu
berkomunikasi meliputi : partisipan, topik, latar, tujuan, dan saluran (lisan
atau tulis).
Partisipan tutur ini berupa PI yaitu
pembicara/penulis dan P2 yaitu pembaca atau pendengar tutur. Agar pesan yang
disampaikan dapat terkomunikasikan dengan baik, maka pembicara atau penulis
perlu (a) mengetahui latar belakang pembaca/pendengar, dan (b) memperhatikan
hubungan antara pembicara/penulis dengan pendengar/pembaca. Hal itu perlu
diketahui agar pilihan bentuk bahasa yang digunakan tepat , disamping agar
pesannya dapat tersampaikan, agar tidak menyinggung perasaan, menyepelekan,
merendahkan dan sejenisnya.
Topik tutur berkenaan dengan masalah
apa yang disampaikan penutur ke penanggap penutur. Penyampaian topik tutur
dapat dilakukukan secara : (a) naratif (peristiwa, perbuatan, cerita), (b)
deskriptif (hal-hal faktual : keadaan, tempat barang, dsb.), (c). ekspositoris,
(d) argumentatif dan persuasif.
Ragam bahasa keilmuan mempunyai ciri :
(1)
cendekia : bahasa Indonesia keilmuan itu mampu digunakan untuk mengungkapkan
hasil berpikir logis secara tepat.
(2)
lugas dan jelas : bahasa Indonesia keilmuan digunakan untuk menyampaikan
gagasan ilmiah secara jelas dan tepat.
(3)
gagasan sebagai pangkal tolak : bahasa Indonesia keilmuan digunakan dengan
orientasi gagasan. Hal itu berarti penonjolan diarahkan pada gagasan atau
hal-hal yang diungkapkan, tidak pada penulis.
(4)
Formal dan objektif : komunikasi Ilmiah melalui teks ilmiah merupakan
komunikasi formal. Hal ini berarti bahwa unsur-unsur bahasa Indonesia yang
digunakan dalam bahasa Indonesia keilmuan adalah unsur-unsur bahasa yang
berlaku dalam situasi formal atau resmi. Pada lapis kosa kata dapat ditemukan
kata-kata yang berciri formal dan kata-kata yang berciri informal (Syafi’ie,
1992:8-9).
Contoh :
Kata berciri formal Kata
berciri informal
Korps
korp
Berkata
bilang
Karena
lantaran
Suku cadang
onderdil
4.
Laras Ilmiah Populer
Laras ilmiah populer merupakan
sebuah tulisan yang bersifat ilmiah, tetapi diungkapkan dengan cara penuturan
yang mudah dimengerti. Karya ilmiah populer tidak selalu merupakan hasil
penelitian ilmiah. Tulisan itu dapat berupa petunjuk teknis, pengalaman dan
pengamatan biasa yang diuraikan dengan metode ilmiah. Jika karya ilmiah harus
selalu disajikan dalam ragam bahasa yang standar, karya ilmiah populer dapat
disajikan dalam ragam standar, semi standar dan nonstandar. Penyusun karya
ilmiah populer akan tetap disebut penulis dan bukan pengarang, karena proses
penyusunan karya ilmiah populer sama dengan proses penyusunan karya ilmiah.
Pembedaan terjadi hanya dalam cara penyajiannya.
Seperti diuraikan di atas, persyaratan
yang berlaku bagi sebuah karya ilmiah berlaku pula bagi karya ilmiah populer.
Akan tetapi, dalam karya ilmiah populer terdapat pula persoalan lain, seperti
kritik terhadap pemerintah, analisis atas suatu peristiwa yang sedang populer
di tengah masyarakat, jalan keluar bagi persoalan yang sedang dihadapi
masyarakat, atau sekedar informasi baru yang ingin disampaikan kepada
masyarakat.
Jika karya ilmiah memiliki struktur
yang baku, tidak demikian halnya dengan karya ilmiah populer. Oleh karena itu,
karya ilmiah populer biasanya disajikan melalui media surat kabar dan majalah,
biasanya, format penyajiannya mengikuti format yang berlaku dalam laras
jurnalistik. Pemilihan topik dan perumusan tema harus dilakukan dengan cermat.
Tema itu kemudian dikerjakan dengan jenis karangan tertentu, misalnya narasi,
eksposisi, argumentasi, atau deskripsi. Secara lebih rinci lagi, penulis dapat
mengembangkan gagasannya dalam berbagai bentuk pengembangan paragraf seperti
pola pemecahan masalah, pola kronologis, pola perbandingan, atau pola sudut
pandang.
Langganan:
Postingan (Atom)