PANCASILA
SEBAGAI PEREKAT BANGSA
Kolom |
26-05-2011
|
Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar yang mencakup lebih dari 17.500 pulau, baik
yang berpenghuni dan memiliki nama, maupun yang tidak berpenghuni dan belum
memiliki nama. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang 81.000 KM, setelah
Kanada. Dari keseluruhan pulau yang dimilikinya, Indonesia memiliki 92 pulau
terluar yang tersebar di 19 provinsi. Sebanyak 67 pulau di antaranya berbatasan
langsung dengan negara lain dan 12 pulau di antaranya rawan diklaim oleh negara
lain.
Indonesia, dalam pandangan Nurcholish Madjid
(1939-2005), merupakan bangsa yang sukses. Bagaimana tidak? Indonesia adalah
bangsa yang mampu mempertautkan solidaritas kultural, merangkum tak kurang dari
250 kelompok etnis dan bahasa, di sekitar 17.500 pulau. Dari sekian banyak
etnis dan bahasa, Indonesia mampu menghadirkan suatu lingua franca
yang mampu mengatasi isolasi pergaulan antarsuku.
Sebelum negeri ini merdeka, para pendiri
bangsa merumuskan cara untuk mengikat suku bangsa dalam sebuah negara
kebangsaan. Tepatnya sebelum pidato 1 Juni 1945, mereka berkumpul dan
menyepakati persatuan sebagai landasan negara Indonesia merdeka. Bahkan,
Muhammad Yamin secara tersirat menyinggung "negara kebangsaan" yang
mengandaikan kedaulatan yang berfungsi memberi perlindungan dan pengawasan pada
putra negeri serta kesempatan luas berhubungan dengan negara lain.
Dalam nada lain, Sosrodiningrat menegaskan
bahwa persatuan berarti bebas dari rasa perselisihan antar golongan, pertikaian
antar individu dan suku. Saat yang sama, perhatian, penghargaan, dan
penghormatan terhadap corak dan bentuk kebiasaaan kelompok lain menjadi penting
untuk menopang persatuan ini.
Persatuan merupakan kata yang penting di dalam
Indonesia yang beragam dalam hal agama, suku, etnis dan bahasa. Pentingnya
persatuan sebagai landasan berbangsa dan bernegara Indonesia bukan hanya
bertumpu pada perangkat keras seperti kesatuan politik (pemerintahan), kesatuan
teritorial, dan iklusivitas warga, akan tetapi juga memerlukan perangkat lunak
berupa eksistensi kebudayaan nasional. Bahwa persatuan memerlukan apa yang
disebut Soekarno sebagai "identitas nasional", "kepribadian
nasional", dan "berkepribadian dalam kebudayaan".
Akar nasionalisme Indonesia sejak awal justru didasarkan pada tekad yang
menekankan cita-cita bersama di samping pengakuan sekaligus penghargaan pada
perbedaan sebagai pengikat kebangsaan. Di Indonesia, kesadadaran semacam itu
sangat jelas terlihat. Bhinneka Tunggal Ika ("berbeda-beda namun satu
jua") adalah prinsip yang mencoba menekankan cita-cita yang sama dan
kemajemukan sebagai perekat kebangsaan. Dalam prinsipnya, etika ini meneguhkan
pentingnya komitmen negara untuk memberi ruang bagi kemajemukan pada satu pihak
dan pada pihak lain pada tercapainya cita-cita akan kemakmuran dan keadilan
sebagai wujud dari tujuan nasionalisme Indonesia.
Prinsip Indonesia sebagai negara "bhineka tunggal ika"
mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap
terintegrasi dalam keikaan dan kesatuan. Namun, realitas sosial-politik saat
ini, terutama setelah reformasi, menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan:
konflik dan kekerasan berlangsung hanya karena persoalan-persoalan yang
sebetulnya tidak fundamental tapi kemudian disulut dan menjadi isu besar yang
melibatkan etnis dan agama.
Kini, setelah enam puluh enam tahun setelah Pancasila dikemukakan secara
publik saat ini merupakan momentum reflektif bagi bangsa Indonesia untuk
meradikalkan Pancasila agar bisa beroperasi dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila haruslah dijadikan dasar kehidupan bersama karena
di dalamnya mengajarkan nilai-nilai kehidupan bersama, multikulturalisme,
persatuan, demokrasi, keadilan sosial dan penghormatan terhadap
kelompok-kelompok minoritas. Pancasila haruslah menjadi perekat bangsa, menjadi
landasan persatuan dan kesatuan Indonesia.
Persoalan Wilayah Perbatasan
Persoalan wilayah
perbatasan dinilai menjadi masalah yang sangat krusial dalam sebuah negara. Hal
ini karena ia menyangkut juga batas wilayah negara tersebut. Untuk negara
seperti Indonesia, masalah perbatasan mestinya mendapat perhatian lebih karena
beberapa tahun kemarin kita dikejutkan dengan lepasnya pulau Sipadan-Ligitan ke
pelukan negeri jiran, Malaysia.
Setelah Sipadan-Ligitan
yang lepas, kawasan Kepulauan Miangas di Sulawesi juga terancam lepas karena
klaim laut oleh Filipina. Hal ini juga menjadi persoalan bagi Kepulauan Riau
yang berbatasan langsung dengan Singapura. Belajar dari pengalaman
Sipadan-Ligitan, aksi nyata untuk pembangunan wilayah perbatasan lebih
dibutuhkan dan lebih jelas pembuktiannya daripada sekadar pengesahan Peraturan
Pemerintah.
Selain karena absennya perhatian pemerintah dalam persoalan perbatasan ini,
masalah kesenjangan struktural dan ketidakmerataan juga menjadi faktor dominan
bagi lepasnya wilayah-wilayah tersebut dari bumi Indonesia. Kasus lepasnya
Timor-Timor dari pangkuan Bumi Pertiwi patut menjadi pelajaran penting agar
kasus serupa tidak terjadi di wilayah lain. Lalu lintas perdagangan
barang/orang, misalnya di Entinkong, Kalimantan Barat, juga patut menjadi
perhatian pemerintah Indonesia agar menghilangkan ketergantungan pada pihak
Malaysia.
Berbagai problem seperti kemiskinan, kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga, keterbatasan akses permodalan dan pasar bagi
masyarakat, kebijakan fiskal dan moneter yang kurang kondusif, keterisolasian
dan mobilitas penduduk akibat keterbatasan akses transportasi, lemahnya
penegakan hukum, dan problem degradasi sumberdaya alam, merupakan sederet
persoalan yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk segera dicarikan
solusinya. Sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap terjaga
keutuhannya.
Keadilan
Sosial
Tak ada persatuan tanpa
keadilan. Dengan kata lain, persatuan haruslah dibangun atas dasar keadilan dan
kesejahteraan sosial. Mustahil, negara bisa membangun persatuan jika tidak
ditopang keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya. Karena itu, sila ketiga dan
sila kelima dalam Pancasila memiliki keterkaitan erat. Hal ini terumus dalam
pembukaan Undang Undang Dasar 1945 bahwa ketika negara sudah terbentuk maka
kekayaan negara dieksplorasi demi kemaslahatan warga negara Indonesia. Sehingga
tidak adil jika hanya satu daerah yang menikmati hasil pembangunan.
Realitasnya, kesenjangan
sosial masih terjadi di era reformasi ini, sebagaimana yang terjadi di wilayah
perbatasan. Bangunan demokrasi yang
ditegakkan pascareformasi memang ditantang untuk menjawab harapan masyarakat
yang begitu besar. Para pengambil kebijakan dituntut untuk membuktikan bahwa
pilihan demokrasi yang memakan biaya cukup mahal bukanlah pilihan yang keliru.
Jawaban yang diberikan tidak cukup dengan pemberian ruang kebebasan yang lebih
besar, tetapi juga kehidupan ekonomi yang lebih baik.
Itulah cita-cita hakiki demokrasi Indonesia yang terkandung dalam
Pancasila, yakni cita-cita yang tidak hanya memperjuangkan emansipasi dan
partisipasi di bidang politik namun juga emansipasi dan partisipasi di bidang
ekonomi. Hal ini seturut dengan tesis yang mengatakan bahwa dasar pendirian sebuah negara, apapun ideologinya, adalah bagaimana membawa
warganya kepada kesejahteraan dan kemakmuran bersama. "Kemerdekaan nasional", tegas Soekarno saat sidang
pertama RIS tahun 1949, "bukanlah tujuan akhir bagi kita semua. Bagi kita
kemerdekaan nasional Indonesia hanyalah syarat untuk mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat dalam arti jasmani dan rohani. Kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat adalah tujuan kita bersama".
Perbaikan ekonomi bangsa dan
pewujudan kesejahteraan rakyat memang bukan hanya menjadi tanggungjawab
pemerintah semata, tetapi juga memerlukan bantuan dan partisipasi warga
masyarakat, pelaku ekonomi dan bisnis, negarawan, politikus, akademisi, dan elemen
organisasi pemerintah. Selanjutnya, kebijakan
politik harus memberi kerangka insentif berbasis meritokrasi, bagi inteligensia
yang mencurahkan talenta-talenta terbaiknya dalam berbagai bidang profesi.
Pancasila. Peretak/perekat bangsa
Last Updated
on 07 June 2011 Written by Administrator
Yah, seperti
itulah peran pancasila di negeri ini. dari jamannya ketika dilahirkan hingga
sekarang Pancasila selalu menjadi perdebatan. Idealnya Pancasila dijadikan
perekat bangsa, namun kadang menjadi peretak bangsa. Pada sidang awal BPUPKI 29
Mei - 1 juni 1945 mengenai asas negara, Muhammad Yamin dan Bung Karno
masing-masing mengusulkan 5 hal yang akan menjadi asas negara. Tanggal 1 juni
1945 bung karno pertama kali mengeluarkan kata Pancasila*). ”Saudara-saudara !
Dasar negara telah saya sebutkan, lima bilangannya. Inikah Panca Dharma ? Bukan
! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita
membicarakan dasar…..Namanya bukan Panca Dharma, tetapi….saya namakan ini dengan
petunjuk seorang teman kita ahli bahasa…..namanya ialah Pancasila. Sila artinya
asas atau dasar dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara
Indonesia, kekal dan abadi. Kelima sila tadi berurutan sebagai berikut:
1 Kebangsaan Idonesia;
2 Internasionalisme atau peri-kemanusiaan;
3 Mufakat atau domokrasi;
4 Kesejahteraan sosial;
5 KeTuhanan.
(Pidato Bung Karno pada tanggal 1 juni 1945)
1 Kebangsaan Idonesia;
2 Internasionalisme atau peri-kemanusiaan;
3 Mufakat atau domokrasi;
4 Kesejahteraan sosial;
5 KeTuhanan.
(Pidato Bung Karno pada tanggal 1 juni 1945)
Dari kelima sila tersebut sangat jelas pengaruh aliran sosio-nasionalisme (Internasionalisme dan nasionalisme), sosio-demokratis (demokrasi dan keadilan sosial) dan agama (KeTuhanan). Paham sosio-nasionalime Bung Karno dipengaruhi oleh ajaran A. Baars (kosmopolitanisme A. Baars dari Belanda) sedangkan paham sosio-nasionalisme dipengaruhi oleh seorang sosialis Dr. Sun Yat Sen pendiri negara Tiongkok merdeka. Sedangkan sila KeTuhanan berasal dari diskusi antara Bung karno dan pemuka agama Islam saat itu. Jadi isi sila pancasila itu bersumber dari Belanda, Cina dan Islam. Jika ada yang bilang Pancasila digali dari budaya bangsa indonesia atau peninggalan nenek moyang itu adalah keliru.. hehehehehe.
* Pancasila merupakan ajaran yang diciptakan oleh Sang Buddha Siddharta Gautama, Pancasila merupakan ajaran yang harus diamalkan oleh setiap penganut agama Buddha bahkan sampai kini. Pancasila sudah dianut dan menjadi dasar filsafat serta ideology Kerajaan Maghada pada Dinasti Maurya sejak dipimpin oleh raja yang gagah perkasa ASHOKA (sekitar tahun 273 SM – 232 SM) jauh sebelum negara RI ada. Raja Ashoka merupakan penganut agama Buddha yang taat. Dibawah ini naskah Pancasila dalam bahasa Pali
- P?n?tip?t? veramani sikkh?padam sam?diy?mi (Saya menahan diri dari membunuh makhluk hidup)
- Adinn?d?n? veramani sikkh?padam sam?diy?mi (Saya menahan diri dari mengambil hak orang lain)
- K?mesu micch?c?ra veramani sikkh?padam sam?diy?mi (Saya menahan diri dari perilaku menyimpang seksual)
- Mus?v?da veramani sikkh?padam sam?diy?mi (Saya menahan diri dari berbohong)
- Sur? meraya majja pam?datth?n? veramani sikkh?padam sam?diy?mi (Saya menahan diri dari dari penggunaan benda benda yang dapat menghilangkan kesadaran diri)
Kerajaan
Majapahit di pulau Jawa yang berkembang hampir kesepetiga Nusantara juga
menganut Pancasila sebagai ideologi negara. Kerajaan Majapahit mengakui dan
mengayomi dua agama resmi Negara yaitu Buddha dan Hindu, kedua agama ini
memiliki tempat peribadatan masing-masing dilingkungan Negara. Maka
terbentuklah keharmonisan antar pemeluk agama dibawah naungan Pancasila. Isi
Pancasila yang terdapat di Kerajaan Majapahit dapat ditemukan dalam Kitab
Negarakertamagama karya Empu Prapanca.
Sejak
kekalahan Majapahit oleh Kerajaan Islam dibawah pimpinan Raden Fatah, bukan
hanya istananya saja yang terkubut, tetapi ideologi dan lambang garudanya pun
ikut terkubur. Namun walaupun negara bisa runtuh, tetapi ideologi masih akan
tetap bersemayam didalam dada penganutnya.
Rumusan pancasila yang pertama kemudian dijadikan landasan lahirnya piagam jakarta (Djakarta Carter) pada tanggal 22 juni. disinilah awal hampir saja terjadi keretakan negeri ini. Bung Hatta mendapatkan bisikan bahwa beberapa rakyat bagian Timur Indonesia akan memisahkan diri jika pada sila pertama masih terdapat kalimat "...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya". Bung Hatta kemudian berusaha meyakinkan tokoh-tokoh islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan untuk menghapus 7 kata tsb sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di masa orde baru, Pancasila betul-betul di-SAKTI-kan oleh penguasa saat itu. sekitar 500 ribu - 1 juta anak bangsa nyawanya harus melayang demi penegakan Pancasila, entah berapa lagi nyawa anak bangsa yang telah melayang pada pemberontakan DI-TII, kasus Tanjung priok, dan lain-lain. Pancasila yang harusnya mengarahkan mereka kejalan yang lurus (menurut isi Pancasila) malah dijadikan alasan untuk memberantas mereka (nyamuk demam berdarah kali). Pancasila yang harusnya menjadi lem bagi mereka untuk direkatkan kembali ke NKRI, malah di retakkan kemudian dimusnahkan (barang selundupan kali..). Boleh saja orang-orang PKI ayau DI-TII telah musnah di bumi pertiwi ini tapi belum tentu ideologi mereka turut musnah. Karena cara menghapus mereka yang tidak "Pancasilais", maka bisa saja dimasa depan atau masa kini ideologi itu akan muncul lagi (contohnya NII). Kita mungkin paham saat itu Pancasila masih berumur 20 tahun, umur yang masih muda, umur dimana otot2 Pancasila masih kuat dan cengkramannya masih mengalahkan cengkraman trio macan. umur muda ini dimanfaatkan betul oleh penguasa saat itu seperti seperti judul lagu Rhoma Irama.. Darah Muda.. Yang selalu merasa gagah... Tak pernah mau mengalah.
Pancasila saat itu tidak bisa diganggu gugat.. bahkan seandainya saja saat ini pemerintahan orde baru masih berkuasa, ketika saya memposting tulisan ini kemungkinan besar saya akan diculik dan dihilangkan. Bapak B.J. Habibie (semoga kesehatan dan umur panjang dilimpahkan kepada beliau) ketika berpidato di DPR-MPR-RI pada tanggal 1 juni 2011 dalam rangka memperingati hari kelahiran Pancasila mengatakan bahwa : " Harus diakui, dimasa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan masif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tidak sepaham dengan pemerintah sebagai orang yang tidak Pancasilais atau anti Pancasila. Akibatnya Pancasila dipersalahkan oleh rakyat karena diannggap menjadi ornamen sistem politik yang represif. Pancasila kemudian menjadi simbol atau icon rezim sebelumnya, sehingga menyebabkan amnesia nasional karena masyarakat trauma akan penyalahgunaan Pancasila dalam pembangunan"
Menurut Pak Rizha (Dosen Teknik Unhas) yang mengutip buku Piagam Djakarta : Terlepas dari pengamatan empirik terhadap perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara selama 66 tahun guided by Pancasila dalam berbagai versi dan penjelasannya, sehingga carut-marut seperti sekarang ini, sebenarnya kalo' kita mau sedikit kritis dan menggunakan akal sehat saja, dalam Pancasila itu terkumpul berbagai macam ideologi, yang sebetulnya tidak mungkin disatukan. Pancasila is not AN IDEOLOGY, but a bunch of ideologies.
Seorang agamis (wa bil khusus Islamis) akan meyakini bahwa satu-satunya sila yang penting dalam Pancasila adalah sila pertama, asal ditambah dengan tujuh kata seperti dalam Djakarta Charter. Kalo' tidak, KeTuhanan jadi "kosong", diisi batu Tuhannya batu, diisi pohon ya Tuhannya pohon, kata K.H. Masykur [ESA, "Piagam Djakarta", hal. 82]. Maka seorang Islamis meyakini bahwa kalo' sila pertama saja dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, yang laen akan ikut saja.
Tapi seorang nasionalis tidak akan setuju, baginya yang paling penting adalah sila ketiga. Kalo' persatuan dijunjung tinggi, yang laen akan beres dengan sendirinya, begitu katanya. Seorang demokrat akan mementingkan sila keempat. Seorang sosialis-komunis akan memilih jalur via sila kelima dulu. Seorang humanis-liberalis, tentu menganggap sila kedua yang paling penting. Jadi bagaimana bisa seorang warga-negara menjadi "Pancasilais" dalam arti seorang Islamis, sekaligus humanis, nasionalis, demokrat dan komunis? Hehehe, cuma bisa kalo' dia seorang "humoris"
Melihat banyaknya masalah yang timbul dinegara ini saat ini menjadikan semua orang seakan kehilangan arah dan mencari sesuatu yang bisa dijadikan "The Guiding Principle". banyak yang menyarankan negara ini kembali mereaktualisasi Pancasila sebagai The Guiding Principle, namun ada juga yang menyarankan kita menggantinya saja dengan sesuatu yang lebih segar. Pemimpin kita bisa menyusun suatu kalimat yang indah dan syarat makna pada dasar negara kita kita karena para Founding Father negara ini memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, entah apa itu bisa dibuat pemimpin kita saat ini (mungkin iya juga, khan Pak SBY pintar buat lagu..wkwkwkwk).
Rumusan pancasila yang pertama kemudian dijadikan landasan lahirnya piagam jakarta (Djakarta Carter) pada tanggal 22 juni. disinilah awal hampir saja terjadi keretakan negeri ini. Bung Hatta mendapatkan bisikan bahwa beberapa rakyat bagian Timur Indonesia akan memisahkan diri jika pada sila pertama masih terdapat kalimat "...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya". Bung Hatta kemudian berusaha meyakinkan tokoh-tokoh islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan untuk menghapus 7 kata tsb sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di masa orde baru, Pancasila betul-betul di-SAKTI-kan oleh penguasa saat itu. sekitar 500 ribu - 1 juta anak bangsa nyawanya harus melayang demi penegakan Pancasila, entah berapa lagi nyawa anak bangsa yang telah melayang pada pemberontakan DI-TII, kasus Tanjung priok, dan lain-lain. Pancasila yang harusnya mengarahkan mereka kejalan yang lurus (menurut isi Pancasila) malah dijadikan alasan untuk memberantas mereka (nyamuk demam berdarah kali). Pancasila yang harusnya menjadi lem bagi mereka untuk direkatkan kembali ke NKRI, malah di retakkan kemudian dimusnahkan (barang selundupan kali..). Boleh saja orang-orang PKI ayau DI-TII telah musnah di bumi pertiwi ini tapi belum tentu ideologi mereka turut musnah. Karena cara menghapus mereka yang tidak "Pancasilais", maka bisa saja dimasa depan atau masa kini ideologi itu akan muncul lagi (contohnya NII). Kita mungkin paham saat itu Pancasila masih berumur 20 tahun, umur yang masih muda, umur dimana otot2 Pancasila masih kuat dan cengkramannya masih mengalahkan cengkraman trio macan. umur muda ini dimanfaatkan betul oleh penguasa saat itu seperti seperti judul lagu Rhoma Irama.. Darah Muda.. Yang selalu merasa gagah... Tak pernah mau mengalah.
Pancasila saat itu tidak bisa diganggu gugat.. bahkan seandainya saja saat ini pemerintahan orde baru masih berkuasa, ketika saya memposting tulisan ini kemungkinan besar saya akan diculik dan dihilangkan. Bapak B.J. Habibie (semoga kesehatan dan umur panjang dilimpahkan kepada beliau) ketika berpidato di DPR-MPR-RI pada tanggal 1 juni 2011 dalam rangka memperingati hari kelahiran Pancasila mengatakan bahwa : " Harus diakui, dimasa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan masif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tidak sepaham dengan pemerintah sebagai orang yang tidak Pancasilais atau anti Pancasila. Akibatnya Pancasila dipersalahkan oleh rakyat karena diannggap menjadi ornamen sistem politik yang represif. Pancasila kemudian menjadi simbol atau icon rezim sebelumnya, sehingga menyebabkan amnesia nasional karena masyarakat trauma akan penyalahgunaan Pancasila dalam pembangunan"
Menurut Pak Rizha (Dosen Teknik Unhas) yang mengutip buku Piagam Djakarta : Terlepas dari pengamatan empirik terhadap perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara selama 66 tahun guided by Pancasila dalam berbagai versi dan penjelasannya, sehingga carut-marut seperti sekarang ini, sebenarnya kalo' kita mau sedikit kritis dan menggunakan akal sehat saja, dalam Pancasila itu terkumpul berbagai macam ideologi, yang sebetulnya tidak mungkin disatukan. Pancasila is not AN IDEOLOGY, but a bunch of ideologies.
Seorang agamis (wa bil khusus Islamis) akan meyakini bahwa satu-satunya sila yang penting dalam Pancasila adalah sila pertama, asal ditambah dengan tujuh kata seperti dalam Djakarta Charter. Kalo' tidak, KeTuhanan jadi "kosong", diisi batu Tuhannya batu, diisi pohon ya Tuhannya pohon, kata K.H. Masykur [ESA, "Piagam Djakarta", hal. 82]. Maka seorang Islamis meyakini bahwa kalo' sila pertama saja dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, yang laen akan ikut saja.
Tapi seorang nasionalis tidak akan setuju, baginya yang paling penting adalah sila ketiga. Kalo' persatuan dijunjung tinggi, yang laen akan beres dengan sendirinya, begitu katanya. Seorang demokrat akan mementingkan sila keempat. Seorang sosialis-komunis akan memilih jalur via sila kelima dulu. Seorang humanis-liberalis, tentu menganggap sila kedua yang paling penting. Jadi bagaimana bisa seorang warga-negara menjadi "Pancasilais" dalam arti seorang Islamis, sekaligus humanis, nasionalis, demokrat dan komunis? Hehehe, cuma bisa kalo' dia seorang "humoris"
Melihat banyaknya masalah yang timbul dinegara ini saat ini menjadikan semua orang seakan kehilangan arah dan mencari sesuatu yang bisa dijadikan "The Guiding Principle". banyak yang menyarankan negara ini kembali mereaktualisasi Pancasila sebagai The Guiding Principle, namun ada juga yang menyarankan kita menggantinya saja dengan sesuatu yang lebih segar. Pemimpin kita bisa menyusun suatu kalimat yang indah dan syarat makna pada dasar negara kita kita karena para Founding Father negara ini memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, entah apa itu bisa dibuat pemimpin kita saat ini (mungkin iya juga, khan Pak SBY pintar buat lagu..wkwkwkwk).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar